Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

Eps: Kemelut Cinta Alya


"Selamat datang kembali, sayang." Kata Alya sambil mendorong kursi roda Hendra masuk ke rumah.

Opi melonjak - lonjak gembira melihat ayahnya pulang, tapi pria yang duduk di kursi roda itu bereaksi negatif, dia diam saja tanpa ekspresi, tangannya bergerak lemah mengelus rambut Opi dengan wajah masam.


Melihat wajah lesu suaminya Alya menggigil menahan emosi, ingin rasanya dia menangis melihat Hendra yang terus saja memperlihatkan ekspresi pahit terutama kepada dirinya, tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia hanya mampu memberikan dorongan doa agar suaminya itu bisa cepat sembuh dan kembali menjadi suaminya seperti Hendra yang dulu.


Beberapa hari sebelum pulang Hendra sudah mulai bisa tersenyum dan bercanda, lalu entah kenapa, tiba - tiba saja senyum itu hilang dan berganti dengan kemuraman dan wajah penuh emosi yang tidak berkesudahan. Dalam hati kecilnya Alya merasa Hendra memendam kekecewaan dan rasa marah kepadanya, tapi kenapa?


Atas ijin dokter, Hendra sudah diperbolehkan pulang dan menerima rawat jalan, karena pertimbangan finansial dan kenyamanan, pihak keluarga membawa Hendra pulang hari ini. Sayangnya entah kenapa Hendra yang pada hari - hari terakhir memperlihatkan wajah optimis berubah total, ia terlihat enggan pulang ke rumah. Ketika Dodit menanyakan hal ini pada Alya, istri Hendra itu hanya bisa menggeleng dan mengangkat bahu tanda tak tahu. Alya sudah mencoba menanyakannya langsung tapi Hendra tak menjawab, ia bahkan menggeram marah ketika Alya terus bertanya. Itu sebabnya Alya memilih diam dan berpura - pura semua baik - baik saja. Ia yakin suatu saat nanti, Hendra akan kembali seperti semula. Paling tidak Hendra sudah pulang ke rumah.


"Tas - tasnya Bapak langsung dibawa ke kamar, Bu?" tanya supir yang membawa tas berisi baju dan perlengkapan Hendra.

"Iya, Mas Paidi." Angguk Alya. "Letakkan saja di samping tempat tidur Bapak, nanti biar saya yang membereskan."

"Baik, Bu." Kata Paidi sambil bergegas membawa barang - barang itu masuk ke dalam rumah.


Paidi? Ya. Paidi yang dulunya adalah penjual bakso keliling kini telah resmi diangkat sebagai supir keluarga Hendra. Alya memutuskan untuk menyewa Paidi karena kondisi Hendra yang masih memerlukan perawatan secara intensif. Dia tidak mempercayai Pak Bejo untuk melakukan tugas - tugas yang penting lagi, itu sebabnya dia menyewa Paidi. Memang tidak mudah mempercayai orang yang baru saja ia kenal, tapi Paidi sudah mengenalkan diri dan jujur tentang masa lalunya. Setelah beberapa kali membeli bakso dan akrab dengan Paidi, Alya memutuskan bahwa lelaki tua kurus ini orang yang dapat dipercaya. Tentu saja Paidi tidak pernah mengatakan kalau dia adalah mantan napi sehingga memperoleh kepercayaan Alya.


Paidi memang orang asing bagi keluarga Alya, tapi mungkin akan lebih baik menyewa orang asing yang benar - benar membutuhkan pekerjaan daripada membiarkan pria brengsek seperti Pak Bejo merajalela di rumahnya. Masa lalu Paidi yang masih simpang siur, memang membuat Alya sedikit merasa was - was, tapi pada dasarnya setiap orang bisa berubah, kenapa tidak memberi kesempatan pada orang ini untuk membuktikan kesungguhannya bekerja pada Alya dan keluarga? Tentu saja Paidi tidak lantas dengan mudah menceritakan masa suramnya ketika harus mendekam di bui. Ia sengaja menyimpan cerita itu untuk dirinya sendiri, karena kalau sampai Alya tahu, sudah pasti dia tidak akan bekerja bagi ibu muda yang seksi itu lagi.


Karena berbagai pertimbangan pula, Alya meminta Paidi tinggal di kamar pembantu yang ada di kebun belakang, sebuah kamar yang terpisah dari rumah utama.


###


Paidi bersiul sambil membilas Toyota Avanza milik Alya dengan riang gembira. Lagu - lagu ceria ia dendangkan dengan siulan merdu. Ia akan membuat mobil ini bersih dan cantik seperti majikannya. Panasnya terik matahari yang bersinar tak membuat mantan napi itu gerah, ia bahagia sekali bisa bekerja sebagai supir pribadi Alya. Walaupun baru memperoleh pekerjaan itu selama beberapa hari, tapi Paidi berniat akan menjadikan pekerjaan ini pekerjaan terakhirnya. Kalaupun gagal dan dipecat, paling tidak sekali dalam hidupnya ia bisa tinggal di rumah yang sama dengan wanita secantik Alya. Siapa yang tidak ingin selalu berada di dekat seorang wanita yang semolek bidadari?


Paidi bekerja dengan gembira, ia mengoleskan sabun, membilas, menyemprot dan membersihkan mobil dengan perasaan berbunga. Pekerjaan sudah hampir selesai ketika hari mulai siang.


Saat itulah sebuah suara serak mengagetkannya.


"Siapa kamu? Ngapain kamu di sini?"


Paidi berbalik ke belakang dan melihat sesosok tubuh gemuk menghampirinya. Ini dia orangnya, Bejo Suharso. Orang yang ia lihat malam itu, preman kampung yang meniduri Alya di pos kamling tempo hari. Orang yang telah membuat kehidupan Alya berubah menjadi neraka. Pandangan kedua laki - laki itu segera beradu, tapi karena teringat statusnya sebagai orang baru, Paidi memilih untuk mengalah.


"Nama saya Paidi, Pak. Saya supir baru di sini."


"Supir baru?" Pak Bejo mulai gelisah, kenapa Alya menyewa supir baru? Apakah dia dengan sengaja hendak menyingkirkannya? Dasar lonthe tidak tahu diri! Sudah diberi kenikmatan malah mau membuangnya begitu saja! Perek itu harus diberi pelajaran! Pak Bejo berkacak pinggang,


"ohhh... kalau begitu perkenalkan, nama saya Bejo Suharso. Saya tinggal di dekat sini."


Kedua orang itu bersalaman dan memegang tangan masing - masing dengan sangat erat. Entah siapa yang memulai, keduanya beradu kuat saat bersalaman, seakan menunjukkan siapa yang memegang kendali. Pak Bejo kaget juga melihat kekuatan Paidi, ia tidak mengira supir kurus itu akan membalas jabat tangannya dengan sekuat tenaga.


"Kalau butuh apa - apa, bilang saja sama saya. Saya sudah sering bantu - bantu kok." Kata Pak Bejo.


"Keluarga Pak Hendra sudah saya anggap keluarga sendiri."


"Iya Pak." Walaupun kurus, Paidi tidak kalah kuat dibanding Pak Bejo. Supir baru Alya itu cuma nyengir sewaktu Pak Bejo menegangkan rahang tanda geram sambil menarik tangan dengan kasar.


###


Alya mendesah di ruang kerja, ia menatap layar netbooknya dengan malas. Pekerjaannya menumpuk. Ia memang sudah menduga perawatan Hendra di rumah sakit akan memakan banyak biaya dan waktu, tapi ia tidak menduga pekerjaannya yang tertunda akan menumpuk begitu banyaknya. Alya meregangkan tangannya ke atas, lelah sekali rasanya. Ah, seandainya saja Mas Hendra mau memijatnya...


Satu tangan gemuk tiba - tiba saja meraih pundak Alya dan mulai memijit bahunya yang pegal. Awalnya Alya mengerang lirih karena keenakan, tapi lalu terdiam saat tahu siapa yang datang.


"Capek ya, sayang? Tenang saja. Akan kubuat tubuhmu rileks supaya nanti malam bisa melayaniku sampai pagi." Kata Pak Bejo sambil menurunkan kepala tepat di samping kepala Alya, tak lupa pria tua itu menyunggingkan senyum menjijikkan. Sambil terkekeh, Pak Bejo mengecup pipi Alya yang halus.


Alya berontak ketika ia sadar siapa yang datang.

"Tidak perlu. Terima kasih. Pekerjaan saya banyak sekali hari ini. Pak Bejo ada perlu apa? Kenapa masuk ke ruang kerja saya? Jangan lupa sekarang ada Mas Hendra di rumah ini! Pak Bejo tidak boleh berbuat seenaknya lagi!" Alya berdiri dan melangkah menjauh dari Pak Bejo. Walaupun tubuhnya bergetar karena takut, tapi untuk pertama kalinya sejak diperkosa, ia berani melawan.


Pak Bejo geram, wajahnya memerah karena marah.

"Begitu ya sekarang? Berani kamu melawan? Dasar lonthe! Habis manis sepah dibuang! Setelah semua jasa - jasaku selama ini, kamu berani - beraninya menyewa seekor anjing untuk menjaga rumahmu!?"


Ingin muntah rasanya Alya mendengar Pak Bejo memaki-makinya dan mengungkit-ungkit jasa yang sebenarnya tak ada artinya dibandingkan perlakuan kasarnya pada Alya. Tapi ibu muda yang cantik itu menahan diri dan berpura - pura bodoh.


"Apa maksud Pak Bejo? Menyewa siapa?"

"Siapa laki - laki yang sedang mencuci mobil di luar?"

"Mas Paidi maksudnya?"

"Kenapa kamu menyewa supir baru?"

"Saya butuh supir."

"Buat apa? Kan ada saya?"


"Saya butuh supir yang bisa mengantar Opi dan Mas Hendra kapan saja dibutuhkan. Pak Bejo belum tentu ada setiap hari. Lagi pula..."


Pak Bejo mendengus.

"Aku tidak suka orang itu. Kamu pecat saja."


Alya mengerutkan kening dengan marah.

"Pak Bejo! Saya memang sudah Bapak peras habis - habisan, luar dalam, tapi saya tidak mau Pak Bejo mendikte apa yang boleh saya lakukan dan apa yang tidak! Saya bukan budak! Paidi saya sewa karena Mas Hendra masih belum kuat menyetir sendiri! Siapa yang akan mengantarkan Opi? Siapa yang akan merawat mobil? Saya..."


PLAK!!


Bekas tangan memerah terasa perih di pipi Alya.


"Lonthe tidak tahu diri!" geram Pak Bejo mendekati Alya.

"Kalau aku bilang pecat ya pecat! Susah amat sih!"


Titik airmata siap menetes di pelupuk mata Alya, tapi istri Hendra itu berusaha tegar. Ia tidak akan mau lagi menjadi bulan - bulanan laki - laki bejat ini. Semua kejadian pahit yang telah menimpanya adalah karena ia dan suaminya menaruh kepercayaan terlalu besar kepada preman kampung ini untuk bisa keluar masuk rumah mereka. Hal itu tidak boleh diteruskan dan tidak boleh terjadi lagi! Cukup sudah!


"Pak Bejo..." desis Alya dengan segenap kekuatan, suaranya terdengar bergetar karena menahan diri dari rasa takut yang amat dalam.

"Saya ingin Bapak segera keluar dari ruang kerja ini dan..."


Pak Bejo tidak tahan lagi. Dengan geram ia mendorong tubuh lemah Alya ke dinding. Pak Bejo menekan kedua tangan Alya di belakang punggungnya sendiri. Karena eratnya tekanan Pak Bejo, kedua tangan Alya terkunci dan tidak mampu digerakkan. Setelah tubuh molek Alya terkunci, Pak Bejo lantas menjepit leher Alya dengan lengannya yang gemuk. Istri Hendra itu tidak bisa bergerak. Ia mencoba berontak untuk melawan tapi sia - sia saja, tenaga mereka tidak sebanding. Perbedaan kekuatan jelas terlihat. Pak Bejo telah mengunci tubuhnya.


"Baiklah, manis. Aku tidak tahu sejak kapan kamu punya keberanian untuk melawanku. Apalagi kamu cantik sekali kalau sedang marah. Tapi..." Pak Bejo berbicara dengan nada pelan namun penuh ancaman. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Alya, si molek itu bahkan bisa merasakan hembusan nafas berat dan bau yang keluar dari hidung dan mulut Pak Bejo,

"aku tidak akan mengulang lagi semua yang aku katakan, jadi aku ingin kamu mendengarkan aku baik - baik. Setuju?"


Alya mengangguk lemah.


Pak Bejo tersenyum menghina. Ia mencoba mencium bibir Alya, namun ibu rumah tangga yang cantik itu tidak mau membuka mulut, ia terus meronta dan menolak. Sayang desakan lengan Pak Bejo di leher sangat menyesakkan nafasnya, mau tak mau Alya merintih kesakitan. Ketika mulutnya membuka sedikit, lelaki tua gemuk itu langsung menempelkan bibirnya di bibir mungil Alya. Pak Bejo bahkan menggigit kecil bibir bawah wanita cantik yang hanya bisa meringis kesakitan itu.


"Besok..." kata Pak Bejo dengan suara berat setelah puas menciumi bibir Alya, "aku ingin tikus kurus itu mengepak semua barang - barangnya dan meninggalkan rumah ini. Aku tidak peduli bagaimana caranya kamu menyuruhnya pergi, yang penting aku tidak mau melihat muka jeleknya di tempat ini lagi! Mengerti?"


Alya diam, ia tidak menjawab.


Pak Bejo mendengus, ia mengecup bibir Alya beberapa kali lagi.

"Huh. Alya... Alya... apa sih hebatnya orang itu sampai - sampai kamu mempertahankannya mati - matian? Memangnya dia itu siapa kamu? Jangan - jangan kamu juga sudah tidur sama dia? Dasar lonthe... sopir sendiri juga mau."


Alya meronta lagi dan membelalakkan mata dengan marah. Ia geram namun tak bisa mengeluarkan kata - kata karena lehernya ditekan sangat keras oleh lengan Pak Bejo. Matanya berlinang, air matanya siap tumpah kapan saja.


"Aku kangen sama bibir kamu yang mungil itu. Bukan bibir atas lho, tapi bibir bawah. Ha ha ha ha!" kata Pak Bejo sambil tertawa terbahak.

"Nanti malam semprot pakai parfum biar wangi, aku mau pakai kamu sampai pagi! Ha ha ha!"


"Apa ada masalah di sini?"


Terkejut dengan suara yang tiba - tiba saja muncul dan mengagetkannya, Pak Bejo melepaskan kuncian pada Alya. Setelah berhasil lepas, Alya langsung menghempaskan diri ke sofa yang berada tak jauh darinya dan terbatuk, ia duduk sambil berusaha menenangkan diri, nafasnya terasa sesak sekali. Alya memicingkan mata dan menahan lehernya yang sakit. Si cantik itu mencoba melihat siapa yang datang... Mas Hendrakah?


Bukan! Ternyata Paidi!


"Heh, supir! Mending kamu urus urusanmu sendiri! Apapun yang aku omongin sama Bu Alya sama sekali bukan urusanmu! Tahu!?" bentak Pak Bejo sambil melotot.


Paidi hanya tersenyum melihat pria bertubuh gempal itu membentaknya, mantan napi itu jelas bukan orang yang mudah digertak, ia menjawab bentakan Pak Bejo dengan tenang.

"Bu Alya itu majikan saya. Tentunya sebagai karyawan yang baik dan mengabdi, saya tidak ingin ada hal - hal yang buruk menimpa beliau." Pandangan mata Paidi menusuk tajam ke arah Pak Bejo. Keduanya saling menatap, siap mengeluarkan pukulan. Suara Paidi berubah menjadi geram, wajahnya mengeras.

"Bukan begitu, Pak Bejo?"


Alya ketakutan sekaligus bingung melihat situasi ini, keributan sedikit apapun akan mengundang perhatian Mas Hendra yang sedang berisitirahat walaupun kamarnya jauh dari ruang kerja Alya, kedatangan Mas Hendra kemari saat itu adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan. Ia tidak ingin Hendra tahu perbuatan bejat Pak Bejo kepadanya selama ini. Alya mendorong Paidi dan Pak Bejo yang sudah sangat dekat dan saling mengancam agar menjauh satu sama lain. "Sudah! Sudah! Kalian bisa membuatku gila kalau begini caranya, tolong pelankan suara kalian! Mas Hendra dan Opi ada di dalam! Kalau kalian mau ribut, bukan di sini! Jangan sekarang!"


"Baiklah." Pak Bejo mendesah, "tapi kalau boleh aku memberi usul, lebih baik supir baru ini diberi pelajaran tambahan soal tatakrama, Bu Alya. Apalagi di kampung kita dia bukan siapa - siapa. Aku tidak ingin ada hal - hal yang buruk menimpanya. Kecelakaan sering terjadi di wilayah ini."


Paidi menggemeretakkan gigi dengan geram, dia tahu itu ancaman, tapi melihat wajah Alya yang menatap mereka khawatir, dia diam saja. Demi majikan yang sangat ia kagumi, Paidi mengalah.


Pak Bejo melangkah dengan penuh kemenangan meninggalkan ruang kerja, dengan sengaja ia menyenggol pundak Paidi sambil meringis menantang. Pak Bejo berjalan keluar rumah dengan bersiul - siul santai.


Tetes air mata mulai leleh di pipi Alya. Betapa lelahnya ia dengan semua ini, betapa inginnya dia lepas dari semua masalah yang membebani pikirannya. Perih pula rasanya tamparan Pak Bejo yang masih terasa menyengat di pipinya.


"Maaf kalau saya lancang, Bu. Tapi tadi saya sudah mencuri dengar percakapan Ibu dengan Pak Bejo, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Paidi dengan lembut. "Benarkah..."


Alya kaget mendengar pertanyaan nekat dari supirnya itu, ia bangkit dan mengusap air matanya yang menetes. Wajahnya yang cantik berubah menjadi ketus,

"Dengar baik - baik, Mas Paidi. Aku ingin kamu tahu kalau aku bisa mengatasi semua persoalanku sendiri. Aku tidak suka karyawanku tahu rahasia - rahasiaku, jadi lebih baik kau lupakan semua yang kamu dengar hari ini, atau besok kamu angkat barang - barangmu dan pergi dari rumah ini! Mengerti?"


Paidi kaget, tapi ia lalu tersenyum lembut karena tahu tentunya saat ini Alya sedang kacau dan sangat kalut. Wanita jelita itu tentunya masih sangat terbawa emosi.

"Saya tidak berani lancang. Tentu saya tahu apa yang harus saya lakukan, Bu. Saya tidak akan mengungkit kejadian ini lagi di masa mendatang. Ibu bisa percaya pada saya."


"Bagus!"


Alya meninggalkan Paidi sendiri, ia berjalan keluar dengan langkah tegas, tapi getaran kaki Alya tidak bisa mengelabui Paidi.


Pria tua itu duduk di sofa dengan tenang sambil menatap kepergian majikannya yang jelita. Ia tidak peduli apa yang akan terjadi besok, ia harus menolong si cantik itu lepas dari genggaman Pak Bejo yang bejat. Kalaupun ia harus dipecat karena usahanya, ia tidak akan menyesal karenanya.


Ia harus melakukannya, karena sejak melihat Alya di Pos Kamling malam itu, Paidi telah jatuh cinta.


Ia akan melawan Pak Bejo. Demi Alya.


###


Alya ambruk di ranjang kosong di dalam kamarnya dan menangis tersedu - sedu. Bagaimana caranya dia bisa lepas dari semua ancaman Pak Bejo? Dia tidak ingin disakiti lagi, dia tidak ingin diperkosa setiap hari. Tapi kalau dia nekat melawan Pak Bejo, dia khawatir akan keselamatan Opi dan Mas Hendra, belum lagi di rumah ini juga ada Anissa dan Dodit. Preman kampung seperti Pak Bejo selalu mengancam keselamatan keluarganya, oleh karena itu Alya tidak berani berbuat gegabah. Apa dia harus pindah rumah? Alasan apa yang sebaiknya disampaikan pada Hendra agar mereka bisa pindah dari lingkungan ini tanpa membuka semua nista yang telah ia perbuat? Bagaimana caranya meyakinkan Mas Hendra agar pindah ke tempat lain tanpa membuka aib bahwa istrinya sendiri telah diperkosa?


"Kamu kenapa?"


Alya berbalik, ia terkejut mendengar suara itu... suara Mas Hendra!


"Mas?"


Di hadapan Alya, Hendra yang sedang duduk di atas kursi rodanya tengah menyantap setangkup roti tawar dengan keju, ia baru saja kembali dari ruang tengah menonton acara TV kesukaannya. Walaupun wajah Hendra masih ketus dan sepertinya acuh tak acuh, tapi Alya senang sekali! Ini pertama kalinya sejak mereka pulang ke rumah suaminya mau menyapa!


"Kamu sudah lebih baik, Mas?" tanya Alya dengan semangat, "akan aku buatkan lauk untuk makan ya. Sepertinya Mas sangat lapar..."


"Aku tadi tanya kamu kenapa." Nada suara Hendra sama sekali tidak enak didengar, ketus dan keras.


"A - aku tidak apa - apa... mungkin hanya kecapekan." Jawab Alya dengan gugup.


"Ya sudah." Hendra mengayuh roda kursinya dengan tangan, berbalik, dan meninggalkan Alya sendirian saja di kamar.


Alya menatap kepergian suaminya dengan wajah sendu.


"Mas...?"


Tidak ada jawaban, Hendra telah pergi tanpa mempedulikannya.


Alya menundukkan kepala. Tubuhnya ambruk ke lantai dan ia kembali menangis tersedu - sedu. Kenapa di saat satu hal kacau, yang lain juga jadi ikut berantakan?


###


Alya meregangkan tangannya yang pegal. Saat ini ia sedang duduk di kursi yang berada di beranda halaman belakang rumah, tempat yang langsung menghadap ke kebun belakang. Kebun belakang ini cukup luas dan dikitari oleh tembok tinggi yang mengisolasinya dari tetangga sekitar, tidak akan ada tetangga yang bisa melihat keadaan di kebun Alya yang asri. Hijaunya tanaman, harum wangi bunga yang semerbak, burung yang berkicau dan selintas hinggap, serta langit yang biru cerah, membuat suasana hati Alya lebih riang dari biasanya.


Hari ini wanita cantik yang juga seorang wanita karir itu sedang libur. Dodit dan Anissa pergi mengantarkan Mas Hendra check - up rutin di rumah sakit sedangkan Opi sudah diantar Paidi ke sekolah. Akhirnya ia bisa istirahat sebentar tanpa gangguan dari siapapun. Setelah beberapa saat melihat suasana kebun belakang yang menyejukkan, ibu muda yang jelita itu memutuskan untuk melakukan senam sebentar. Semua stress yang harus ia hadapi membuatnya lelah, ada baiknya dia melepas semua penat dengan berolahraga.


Alya mengenakan tanktop putih ketat yang menampilkan kemolekan lekuk tubuhnya, tanktop mungil itu hampir - hampir tidak sanggup menahan kemontokan buah dada Alya yang ukurannya cukup lumayan, ia memang sengaja mengenakan tanktop agar bisa lebih rileks berolahraga, karena ketatnya tanktop, Alya sengaja tidak mengenakan bra. Selain tanktop, sebuah celana ketat pendek yang juga berwarna putih ia kenakan agar lebih mudah bergerak. Paha Alya yang putih mulus bagai pualam terlihat sangat seksi dalam balutan seadanya celana mini yang sangat ketat itu.


Hari ini ia tahu tidak akan ada seorangpun yang bisa masuk ke rumah, termasuk Pak Bejo yang tengah pergi keluar kota karena ada urusan keluarga, jadi ia benar - benar sedang sangat bebas. Itu sebabnya dia berani mengenakan baju ketat ini.


Sambil memasang headset di telinganya, Alya menyalakan IPod untuk memutar lagu sembari ia berolahraga. Untuk beberapa saat lamanya, Alya berlari di tempat atau memutar kebun, melakukan peregangan badan, lalu berlari lagi, senam sebentar, angkat berat sedikit, meregangkan badan lagi, lalu berlari lagi. Ia melakukannya berulang kali, lebih lama dari waktu yang dianjurkan.


Seandainya ada orang yang melihat, mereka pasti akan heran melihat olahraga yang dilakukan Alya. Ada kesan kalau si cantik itu tidak hanya sekedar melakukan olahraga namun mendorong kemampuannya melebihi batas maksimal, seakan hendak menghukum diri sendiri entah atas alasan apa. Dampaknya jelas terlihat, karena memaksakan diri, keringat mulai deras mengalir di pelipis Alya, jauh lebih deras dari keringat biasa. Nafasnya kembang kempis dan tidak teratur, jantungnya juga berdebar lebih kencang.


Alya tidak mau tahu dengan kondisi badannya yang mulai tidak karuan, ia makin memaksakan diri. Ia hanya menganggap kalau itu semua terjadi hanya karena akhir - akhir ini ia jarang berolahraga. Sayangnya ia lupa kalau manusia tetap punya batasan. Tubuhnya terlalu lemah dan pikirannya sudah terlalu lelah. Ia tidak sadar kalau ia belum mampu berolahraga seberat itu.


Perlahan, Alya makin lemah. Badannya makin susah digerakkan. Pandangan matanya kian berkunang - kunang, semuanya jadi kabur. Kepalanya juga sangat berat dan pusing sekali. Entah kenapa rasanya Alya ingin tidur saat ini juga.


Lalu semuanya gelap.


Alya pingsan di kebun rumahnya.


###


Alya mencoba membuka matanya, tapi rasanya berat sekali. Ia mendengar suara seseorang memanggilnya. Di mana ini? Kenapa berat sekali rasanya bangkit dari tidur? Tunggu dulu... ini bukan tempat tidurnya, ia tidak sedang berada di ranjang, ia sedang berada di rerumputan... ia sedang berada di kebun! Ya! Alya ingat sekarang! Dia tadi pingsan karena kelelahan!


Perlahan fokus Alya mulai kembali, matanya terbuka perlahan, sinar terang seperti menembus ke dalam batok kepalanya, nyeri sekali. Untungnya Alya tidak perlu membuka mata terlalu lebar untuk tahu siapa yang datang.


"Bu Alya? Ibu tidak apa - apa?" tanya Paidi khawatir, keringat yang mengalir di tubuh Alya adalah keringat dingin. Paidi mengetahuinya ketika ia mencoba mengusap keringat yang menetes di dahi majikannya dengan menggunakan punggung tangannya. Paidi merinding ketika merasakan betapa lembut dan halusnya kulit wajah Alya. Paidi mengulang pertanyaannya ketika Alya tak segera menjawab pertanyaannya.


"Ibu tidak apa - apa? Ibu bisa bangun?"


Alya mencoba bangun dan menggelengkan kepala, namun ia tidak tahan dan berbaring lagi. "Ohh, pusing sekali." Keluhnya.


"Ibu berbaring saja. Biar saya yang membawa Ibu ke kamar!"


"Ti - tidak usah! A - aku..." belum sempat Alya menolak, Paidi sudah mengangkat tubuh Alya dan menggendongnya masuk ke dalam rumah utama. Kaget juga Alya melihat kekuatan sesungguhnya dari supir tua yang terlihat kurus, lemah dan keriput ini. Dengan sekali angkat, tubuh indah Alya sudah digendongnya. Karena lemah dan tak mampu bergerak, Alya hanya bisa mengalungkan tangannya di leher Paidi. Untuk pertama kali, tubuh keduanya bersentuhan dengan sangat dekat.


Alya bisa merasakan kerasnya kulit Paidi yang berwarna gelap. Nafas pria perkasa yang sedang menggendongya terasa hangat menerpa wajah Alya. Mau tak mau Alya membuka mata dan menatap langsung wajah keras supirnya yang sudah mulai keriput. Paidi hanya mengenakan kaos yang tipis, liatnya kulit sang lelaki jantan itu membuat Alya merinding. Ia salah menduga, ia mengira supirnya itu adalah seorang pria lemah. Kini, dalam gendongannya, Alya merasa terlindungi dan mendapat kehangatan yang selama ini ia cari dari sosok suaminya, perlindungan dan rasa hangat yang sudah lenyap dari Mas Hendra. Eh, apa yang dia pikirkan? Alya memejamkan mata lagi. Gara - gara pingsan, pikirannya melantur kemana - mana!


Gejolak semangat Paidi bangkit ketika mencium harum wangi tubuh Alya. Paidi semakin kagum, tidak hanya cantik, Alya ternyata juga sangat harum. Namun yang membuat gairah kelelakiannya tak kuat bertahan adalah mulusnya paha Alya yang memang jenjang dan luar biasa indah. Sebuah kaki yang pas bagi tubuh yang sangat sempurna. Ia berusaha keras agar keindahan wanita yang sedang ia gendong tidak membuatnya kehilangan fokus. Ia harus tetap bertahan dan mengantarkan Alya ke kamar, jangan sampai jatuh hanya gara - gara tergiur kemolekan majikannya... tapi... ini benar - benar di luar dugaan Paidi, Alya mengalungkan tangannya di leher Paidi dan bergantung sepenuhnya kepadanya. Dada Alya yang montok dan tidak mengenakan bra itu kini menempel seutuhnya di dada Paidi! Dada Bu Alya! Dada yang selama ini ia impikan! Paidi meneguk ludah, toh ia lelaki biasa. Merasakan kenyalnya payudara Alya menempel di dadanya membuat lututnya ngilu, kalau saja tidak ingat situasinya, Paidi bisa - bisa ikut pingsan karena pelukan Alya ini!


Dengusan nafas Paidi yang kian menguat membuat Alya sedikit tidak enak, jangan - jangan Mas Paidi malu karena pakaian ketat yang ia kenakan? Apalagi dia tidak mengenakan BH! Habisnya... dia tidak mengira dia akan pingsan! Kalau dia tahu dia tidak akan mengenakan baju dan celana yang ketat dan minim seperti ini! Tapi ya sudahlah, tidak apa - apa, untuk kali ini saja. Apalagi Mas Paidi juga sudah menolongnya.


Akhirnya Paidi meletakkan Alya di pembaringannya yang kosong.


Alya menderu nafasnya yang masih tak teratur, begitu juga Paidi, walaupun untuk alasan yang lain.


"Te... terima kasih." Kata Alya malu - malu. Ia mencoba tersenyum, wajahnya yang cantik mulai memerah kembali setelah sempat pucat selama pingsan tadi.

"Aku khilaf. Berolahraga terlalu berlebihan, padahal tubuhku lemah karena tidak pernah berolahraga. Jadi merepotkan Mas Paidi saja..."


"Tidak apa - apa, Bu." Paidi menundukkan kepala, ia tidak berani menatap langsung ke arah Alya, takut dia akan terpesona. Dia takut akan menubruk tubuh gemulai yang sangat menggiurkan itu dan memperkosanya saat ini juga. Tidak. Dia tidak boleh jatuh ke dalam perangkap nafsu seperti Pak Bejo. Alya terlalu indah untuk disakiti. Dengan suara lemah Paidi menjawab.


"Sudah menjadi tugas saya sebagai karyawan ibu."


Alya masih tersenyum, Paidi dan Pak Bejo memang dua orang yang sangat berbeda. Entah kenapa Alya jadi membandingkan Paidi dan Pak Bejo, dalam bayangannya, mereka adalah dua sisi mata koin yang berlawanan dilihat dari kelakuan keduanya yang sangat berbeda. Dan lihatlah pria ini! Begitu lembut dan sopan dalam pembawaannya yang sederhana. Mungkin itu sebabnya Alya jadi semakin tertarik pada sosok Paidi yang bersahaja. Wajahnya buruk, usianya lanjut, kulitnya gelap, tubuhnya kurus namun dia sangat kuat dan lebih penting lagi, berpikiran lurus.


"Mas... boleh saya minta tolong lagi?"

"Iya, Bu?"

"Tolong ambilkan minum di..."


"Oh iya! Maaf jadi lupa! Segera saya ambilkan!" Paidi yang tadi sempat khawatir pada kondisi Alya jadi lupa diri karena terpesona kemolekan sang majikan. Ketika teringat kalau tadi Alya pingsan iapun jadi malu sendiri. Bukannya merawat malah memperhatikan lekuk - lekuk tubuh majikannya! Dasar tidak tahu diri! Bergegas Paidi menuju dapur, mengambil segelas air putih dari dispenser, meletakkannya di tatakan lalu membawanya ke kamar Alya.


"Ini Bu, maaf saya tadi..."

"Tidak apa - apa, Mas. Saya sudah enakan kok. Kalau nanti sore masih lemas, saya minta diantarkan ke dokter saja."

"Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu. Kalau ada apa - apa, panggil saya saja."

"Iya, Mas. Terima kasih banyak."


Paidi beranjak keluar kamar dan mengelus dadanya. Ia tidak sanggup lagi berlama - lama di kamar hanya berdua saja dengan sang bidadari. Kalau saja tadi pikiran jahatnya kambuh, ia pasti sudah menubruk Alya dan menelanjanginya! Ah, betapa senangnya hati Paidi ia sudah berhasil mengalahkan nafsunya sendiri... tapi... Alya memang benar - benar seorang dewi. Sangat cantik, seksi dan luar biasa mempesona. Dengan hati gembira mantan narapidana itu melangkah menuju kamarnya yang berada di kebun belakang.


Sementara itu, di dalam kamar, hati Alya menjadi berdebar tak menentu saat sosok tubuh Paidi berjalan keluar. Kenapa... kenapa ia jadi seperti ini? Kenapa rasanya ia ingin terus berada dalam pelukan hangat Paidi? Kenapa ia ingin selalu bersamanya? Kenapa rasanya ia tidak rela Paidi meninggalkannya sendiri dalam keadaan lemah? Tubuh Alya bergetar ketika ia mencoba melawan perasaannya sendiri yang tidak masuk akal itu, ia tidak ingin semua ini terjadi... tapi jangan - jangan... apakah ia sudah mulai tertarik pada supirnya sendiri? Ah tidak mungkin! Ia tidak akan pernah mengkhianati Mas Hendra, apalagi untuk seseorang seperti Paidi! Hilangkan jauh - jauh pikiran kotor itu!


Dengan geli Alya menggelengkan kepala. Ini pasti gara - gara pingsan tadi, pikirannya jadi kacau dan berkeliaran dengan liar.


Alya meminum air putih, memejamkan mata dan berusaha beristirahat.


###


"Haaaaaaaahhh!!!"


Hendra terbangun dari mimpi buruknya dan hampir saja terlempar karena terbangun dengan kaget. Ia mengambil handuk kecil dan menyeka keringat yang turun deras di dahinya. Nafasnya terengah - engah, berulangkali ia batuk kecil dan susah mengatur beratnya nafas. Tangannya mencengkeram erat gagang kursi rodanya ketika ia menatap foto pernikahannya dengan Alya yang ada di atas meja rias.


Hendra mendengus kesal, ia tidak akan pernah memaafkan Alya. Ia tidak akan pernah memaafkan Pak Bejo. Ia tidak akan pernah memaafkan siapa - siapa lagi! Tidak akan pernah!! Tidak akan pernah!!


Air matanya perlahan turun, ia tahu laki - laki sejati tak akan menangis, tapi hatinya begitu sakit, hatinya sangat terluka. Kenapa ia harus melihat secara langsung kemesraan antara Alya dan Pak Bejo? Kenapa? Kenapaaaa??


###


Jantung Alya berdegup kencang ketika ia sudah sampai di depan pintu kamar Paidi. Sendok dalam piring yang ada di tangannya sampai berderak kencang karena tangannya yang gemetar. Kenapa dia takut? Atau mungkin ini bukan rasa takut? Jangan - jangan ini gairah? Gairah yang sudah lama sekali tidak ia rasakan sejak pertama kali bertemu dengan Mas Hendra? Gairah yang sama ia rasakan ketika mereka pertama kali kencan, menikah atau bercinta? Kenapa dia merasa takut dengan gairah ini? Dia hanya mengantarkan roti kepada sopirnya. Kenapa dia harus takut?


Tangan mungil Alya pelan mengetuk pintu kamar Paidi.


Sosok kurus hitam yang ia tunggu akhirnya membukakan pintu. Karena tidak menduga Alya akan datang ke kamarnya, Paidi hanya berpakaian seadanya, ia tidak mengenakan baju dan hanya memakai celana pendek ketat.


"Ah, Bu Alya? Ada apa ya, kok malam - malam begini? Ibu mau saya antar keluar? Sebentar, Bu... saya ganti pakaian dulu..."


"Ti... Tidak usah, Mas. Tidak perlu, saya tidak mau keluar kok," kata Alya.

"Saya hanya ingin mengantar roti ini untuk Mas Paidi."


"Terima kasih, Bu." Jawab Paidi sambil meraih kemeja yang ada di atas kursi. Kemeja itu sebenarnya sudah dicuci, namun belum disetrika, ia memakainya karena tidak enak berhadapan dengan Alya dengan bertelanjang dada. Setelah memakai baju, Paidi menerima roti pemberian Alya dengan sangat berterima kasih.


"Boleh saya masuk?"


Pertanyaan itu mengagetkan Paidi, tapi Alya kan majikannya? Ia berhak masuk ke ruang mana saja di rumah ini.


"Bo... boleh saja, Bu. Tapi kamar saya masih berantakan. Belum sempat dirapikan."


"Ah, tidak apa - apa." Alya pun masuk ke kamar Paidi setelah sopirnya itu mendahului untuk merapikan beberapa bagian kamar.


"Se... sebetulnya saya kemari karena saya ingin berterima kasih pada Mas Paidi yang telah membantu saya beberapa hari yang lalu sewaktu saya pingsan di kebun." Kata Alya sambil menyerahkan roti kepada Paidi.


"Lho, itu kan sudah tugas saya, Bu. Tidak perlu repot - repot seperti ini."


"Terima kasih juga karena telah mengusir Pak Bejo malam itu." Lanjut Alya dengan suara yang lirih.


"Ahhh..." Paidi menghela nafas. Ia meletakkan piring roti di meja, menarik sofa kecil dan mempersilahkan Alya duduk. "Pak Bejo sebenarnya patut diberi pelajaran karena telah bertindak kurang ajar terhadap Ibu. Kenapa tidak dilaporkan saja kepada Pak Hendra, Bu?"


Alya menggeleng dan tersenyum,

"Mas Hendra sudah punya masalah yang jauh lebih berat dan menyita pikiran, kita tidak boleh membebaninya lagi. Aku juga tidak ingin Mas Paidi menceritakan peristiwa pingsannya aku di kebun kepada siapapun. Mengerti?"


"Mengerti." Angguk Paidi.

"Walaupun kalau menurut saya, preman seperti Pak Bejo tidak perlu diberikan kunci rumah ini."

"Sebenarnya hanya Bu Bejo yang membuatku segan, Mas. Beliau sudah banyak membantu. Tanpa bantuan Bu Bejo, keadaan rumah ini pasti sudah berantakan."


Paidi tiba - tiba terdiam. Dengan langkah pelan ia mendekati Alya, ia menatap wajah Alya dengan pandangan aneh, lama dan sangat lekat, membuat Alya menjadi tidak enak.

"Kenapa, Mas? Ada yang aneh dengan wajahku?" tanya Alya risih.


"Ibu baru saja menangis?"


Alya tertegun. Pasti gara - gara kantung matanya. Ia menunduk.

"Iya."

"Kenapa?"

"Tidak apa - apa." Jawab Alya sambil tersenyum.


Walaupun senyum itu sangat manis bagi Paidi, namun kegalauan hati majikannya lebih penting. Ia membungkuk di depan Alya dan berlutut.


"Bu. Saya ini sudah Ibu bantu lebih dari cukup. Ibu sudah mengangkat derajat saya dari orang tak punya apa - apa menjadi memiliki segalanya. Ibu sudah menolong mengembalikan harga diri saya... sekarang, saya mohon. Jika ada masalah, ibu bersedia menceritakannya kepada saya karena saya akan membantu ibu sekuat tenaga."


Kembali Alya hanya tersenyum.

"Terima kasih atas tawarannya, tapi benar kok. Saya tidak apa - apa."


Paidi mendesah kecewa, tapi ia lalu berdiri dan mengangguk.

"Mudah - mudahan begitu, Bu. Tapi kalau ada apa - apa, silahkan Ibu minta saya untuk melakukan apa saja karena pasti saya akan mengerjakannya."


"Terima kasih." Alya pun berdiri dan siap untuk kembali ke rumah utama.

"Ya sudah kalau begitu, saya tinggal dulu ya, Mas?"

"Baik, Bu."


Berat hati Paidi melihat Alya mengalami depresi dan menyimpannya untuk diri sendiri, seandainya bisa, dia ingin membantu, memeluknya dan memberinya kehangatan agar dia bisa merasa aman dan terlindungi.


Langkah Alya mendadak terhenti sebelum melangkah keluar kamar. Ia tidak berbalik namun dari gerak tubuhnya Paidi tahu kalau majikannya yang jelita itu gemetar mencoba menahan tangis.


"Bu...?" tanya Paidi sambil mencoba maju mendekati Alya.


"Semua yang aku lakukan salah. Mas Hendra tidak mau lagi bicara padaku, Pak Bejo selalu bersikap kurang ajar tanpa pernah mau berhenti, kakakku hilang entah kemana, adikku juga tidak bisa dihubungi. Semua yang aku lakukan salah, semuanya membuat aku bingung dan aku tidak ada tempat untuk menceritakannya. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Apa yang harus aku lakukan, Mas?" kepala Alya menunduk dan ia menangis tersedu - sedu. Walaupun awalnya ragu untuk bercerita kepada sopirnya, Alya kini membuka semuanya karena dia sudah tidak kuat menahan beban hidupnya. Kepada siapa dia akan berterus - terang kecuali kepada Paidi yang pernah menolongnya mengusir Pak Bejo.


Paidi menutup pintu dan memberanikan diri memutar tubuh Alya berhadapan dengannya. Wajah cantik itu kini berlelehan air mata. Dengan gerakan reflek, Alya memeluk sopirnya. Ia menangis tersedu - sedu di dada kurus Paidi.


Awalnya Paidi terkejut karena tiba - tiba Alya memeluknya, namun karena ia tahu ibu muda yang cantik itu tengah dilanda dilema, iapun membiarkan saja Alya luruh dalam pelukannya tanpa mengembangkan pikiran mesum. Berulangkali Paidi harus mengusir pikiran kotor karena dada Alya yang ranum amat rapat di dadanya. Wangi harum rambut Alya membuat Paidi terbang ke awan. Dengan berani Paidi mengelus rambut Alya untuk memberikan ketenangan. Ia biarkan si cantik itu menangis tersedu hingga selesai.


"Mas..." desah takut Alya melantun manja di telinga Paidi. Indah sekali bunyinya. Ia ingin Alya terus memanggilnya dengan nada manja. Isak tangis Alya mulai reda. Ia menatap ke atas, ke arah mata Paidi yang menatapnya lembut.


"Bu Alya..." Paidi dengan berani mencium kening majikannya yang gemetar takut dan menggenggam jemarinya.


Tangan mereka kembali bersentuhan, jari jemari Paidi erat menggenggam tangan Alya. Terlalu lama dan terlalu hangat. Mereka sadar hanya ada satu jalan untuk menyudahi ini semua, terjun ke dalam nafsu atau pergi tanpa berpaling. Alya hanya terdiam, tapi bola matanya yang indah menatap tajam ke arah Paidi, sopir itu tentunya tidak akan melewatkan kesempatan yang ada di depan mata. Ia bergerak maju sedikit, lalu sedikit lagi, lalu lagi. Wajah mereka kini sudah sangat dekat hingga hanya seukuran kuku jari.


"Bu Alya sangat cantik... sangat cantik sekali... selama ini saya selalu membayangkan bisa bersama dengan Ibu..." batin Paidi dalam hati.


Bibir mereka akhirnya bertemu. Mata Alya tetap terbuka lebar pada awalnya, namun ketika lidah Paidi yang melumatnya mulai bergerak, ia memejamkan mata untuk menikmati ciuman dari sang sopir. Alya melenguh kecil dan membalas ciuman Paidi. Mereka berdua saling mencium dan melumat, lama sekali. Keduanya sudah jatuh dalam jebakan nafsu. Mulut dan lidah bekerja bersamaan hingga menimbulkan rangsangan kenikmatan.


Kali ini Paidi sudah membulatkan tekad. Ia tidak akan berhenti apapun yang terjadi! Ia sudah tidak tahan lagi. Tubuh Alya terlalu indah untuk dibiarkan begitu saja melenggang di depan matanya! Ia harus mencicipinya! Sekarang juga! Peduli amat kalau nanti dia bakal dipecat atau bahkan dipenjara! Biar bagaimanapun dia mencoba menahan diri, dia tetaplah seorang lelaki normal yang membutuhkan kehangatan seorang wanita dalam dekapannya. Godaan yang hadir dalam bentuk bidadari bernama Alya ini terlalu berat untuknya.


Tapi saat ini Alya dalam kondisi sadar. Ia tidak mau mengkhianati suaminya lagi. Ia sudah berdosa karena telah menerima Pak Bejo dan mau - maunya diperlakukan seperti budak. Tidak! Hal semacam itu tidak akan terulang lagi! Apa yang ia perbuat telah membuat Hendra semakin jauh dan ia tidak mau semakin terjerembab lebih dalam ke lembah nista! Ia ingin lepas dari semua masalah seperti ini, bukan malah terjun ke dalamnya! Alya akhirnya berusaha menjauh dari sang sopir.


Ketika Alya berusaha mendorong tubuh Paidi, ia baru teringat betapa kuatnya laki - laki yang terlihat kurus dan lemas ini. Alya dilanda dilema. Di satu sisi perasaan Alya berusaha mengingatkannya agar segera tersadar dari godaan dan teringat pada suaminya, namun sisi yang lain lagi - sisi yang lebih menuntut dan lebih kuat  - mengeluarkan semua pancaran nafsu birahi yang selama ini ia simpan. Pria ini begitu kuatnya sehingga membuat fantasi Alya melayang, apakah mungkin lelaki tua ini bisa memuaskan hasrat dan... ah... Alya menggelengkan kepala. Tidak! Dia tidak mau terhanyut. Dia adalah wanita karir yang terhormat, ibu rumah tangga yang baik dan istri yang berusaha untuk setia. Ia ingin bangkit setelah semua yang ia alami dengan Pak Bejo, Alya tidak mau jatuh lebih dalam ke jurang nista dengan menyerahkan tubuh ke supirnya sendiri! Sungguh tidak pantas!


Paidi mengangkat dagu Alya, mulutnya turun ke bawah. Dengan satu gerakan, supir itu sekali lagi melumat bibir Alya.


Semua sisi kesadaran Alya hilang. Beradunya bibir mereka membuat sentakan luar biasa yang menghapus penolakan dalam tubuhnya yang haus kasih sayang. Ia balik mencium Paidi. Keduanya kini melupakan pikiran yang kalut dan membiarkan hasrat kebinatangan mengambil alih. Esensi diri terdalam yang hanya menuruti kenikmatan membuat keduanya lupa diri, melupakan status mereka sebagai supir dan majikan. Melupakan status sebagai istri dan ibu. Membiarkan tubuh mereka mereguk kenikmatan terlarang. Nafsu mengambil alih jati diri mereka.


Lidah Alya bergerak lentur dan luwes seakan memiliki nyawa, bagaikan ular yang melata. Lidahnya menyambut kedatangan lidah lawan dengan tumbukan dan lumatan penuh nafsu yang menggelegak hebat. Alya mengingkari perasaan dalam dirinya sendiri, perasaan bersalah yang tiba - tiba saja menghinggap. Ini... terlarang! Tidak seharusnya ia melakukan ini! Ia sudah menikah! Ia... ia... ia pernah diperkosa... dan...


Batin Alya berkecamuk. Mata Alya menutup dan perlahan membiarkan nafsunya menggelora. Ia ingin melawan, namun gejolak nafsu yang ditumpahkan oleh Paidi membuatnya takluk. Ciuman Paidi sangat memabukkan dan membuat pikirannya melayang. Alya bingung, kenapa tubuhnya justru pasrah ketika pikirannya sangat kalut, ia tidak sadar bahwa tubuhnya ingin dibelai, ingin disayang, ingin menikmati indahnya permainan cinta yang bukan karena terpaksa.


Sudah lama sekali rasanya ia tidak dicium seperti ini oleh Mas Hendra.


Mas Hendra! Suaminya! Astaga! Alya terbangun dari fantasinya. Ia sedang dicium oleh laki - laki yang bukan suaminya! Mata yang tadi terpejam mendadak terbuka. Wajah yang ada di hadapannya bukanlah orang yang seharusnya berhak menikmati keindahan tubuhnya! Alya tengah menatap wajah Paidi! Supirnya! Paidi sedang menciumnya! Begitu kesadaran menguasainya kembali, Alya mencoba bangkit dan berontak tapi tangan kuat Paidi mengingkari perlawanannya.


"Jangan Mas... suamiku..." tangan Alya menghalangi tangan Paidi yang mencoba meraih buah dadanya. Rasanya seperti mengangkat tiang besi yang berat, hangat tapi berat. Usaha Alya gagal, Paidi berhasil menangkup buah dada kanannya. Pria tua kurus itu segera meremas, memilin dan menggoyang payudara Alya dengan bebas. Tidak ada perlawanan berarti yang dilakukan Alya. Si cantik itu malah semakin mendesah tidak berdaya.


Alya kecewa pada dirinya sendiri yang tidak kuat menahan godaan. Semudah inikah dia takluk pada Paidi? Orang yang tak lebih adalah supirnya sendiri? Orang yang ia angkat menjadi supir setelah sering berlangganan baksonya? Orang asing yang tidak dia kenal asal - usulnya! Alya tidak ingin dikalahkan semudah itu... ia tidak ingin... ia tidak...


Lidah Paidi masuk ke dalam mulut Alya dan pikiran si cantik itu kembali melayang ke awan. Semudah inikah dia takluk?


Paidi merasa bangga pada dirinya sendiri karena Alya  - istri Hendra majikannya yang cantik jelita dan tadinya setia itu kini mulai menyerah. Tangannya yang kurus dengan berani meremas buah dada Alya yang montok, Paidi meremas dan memilinnya tanpa perlu takut. Walaupun sudah berstatus sebagai seorang ibu dan sudah digauli dua orang laki - laki lain, Alya masih memiliki payudara yang kencang dan kenyal. Paidi sangat mengagumi tubuh Alya, ia merawat tubuhnya dengan baik.. Lekuk tubuhnya masih sangat indah dipandang, ramping dan seksi. Kulitnya juga sangat halus dan mulus, kulitnya yang seputih susu membuat kenikmatan lain dalam menggelegak dalam hati mantan napi yang sudah sejak lama tidak bercinta itu.


Payudara Alya yang indah itu sama sekali tidak melorot walaupun sudah dinikmati Hendra dan Bejo, bahkan menjadi sumber ASI bagi seorang anak yang sangat manis. Paidi menikmati keindahan susu Alya sesuka hati. Ia menangkup, meremas, menggoyang, menimang dan membelai buah dada sang nyonya rumah tanpa ada perlawanan berarti. Jari - jari Paidi yang kurus menyentil puting payudara Alya yang masih berada di balik kaos dan BH yang ia kenakan. Karena kaos tipis yang dikenakan Alya berwarna putih, BH berenda warna ungu yang ia pakai saat itu bisa terlihat dengan jelas. Sambil terus menggoyang payudara sang bidadari, Paidi memberanikan diri menggigit bibir bawah Alya dengan lembut.


Wanita jelita yang ada di dalam dekapan Paidi itu menggeliat, mencoba melawan untuk yang kesekiankalinya. Namun pria kurus berkulit hitam itu masih belum melepaskan ciuman ataupun remasannya. Untuk yang kesekian kalinya pula, Alya kembali takluk pada ciuman Paidi.


Untuk beberapa saat lamanya, mereka berciuman dengan penuh nafsu.


Ketika Paidi akhirnya melepaskan remasan tangan pada susu Alya, si cantik itu masih tetap menghamba pada ciumannya. Tubuh Alya merinding dan menggigil karena tak kuat menahan nafsu. Paidi bukan orang bodoh, rangsangan hebat yang menaklukan Alya ini pasti berkat sentuhan ringan namun efektif pada pentil buah dada sang ibu muda. Sekali lagi Paidi meremas payudara Alya dan menggoyang puting payudaranya dengan jempolnya yang besar. Alya menggeram dan merintih, tubuhnya gemetar tersambar kenikmatan.


Alya mulai terengah - engah, ia kesulitan mengatur aliran nafasnya sendiri. Matanya yang tadi terpejam kini terbuka lebar, menatap pria yang bukan suaminya tengah menggumulinya dengan penuh nafsu. Bibirnya basah oleh lumatan bibir Paidi yang sedari tadi tak berhenti menciumnya, dadanya naik turun oleh nafsu birahi yang menggelora. Satu persatu pakaian Alya dilucuti tanpa ada perlawanan berarti. Ketika Paidi melepaskan BH dan menyisakan rok serta celana dalam, barulah wanita cantik itu kembali tersadar... ia sudah setengah telanjang dalam pelukan supirnya!


"Apa yang... apa yang telah aku lakukan?! Jangan!! Tidak! Aku tidak mau! Sudah...! Aku mohon! Kita sudah terlalu jauh dan... dan..." Alya kebingungan mencari kata - kata, ia tidak ingin mengucapkan kalimat vulgar yang hanya akan menambah nafsu Paidi.

"Aku mencintai suamiku. Dia mencintai aku. Aku mohon... jangan tambah lagi dosaku..."


Tangan Paidi kini bisa menyentuh payudara Alya yang sudah telanjang. Alya menggeleng dan mencoba mendorong tangan sang supir. Usaha ibu muda itu tentu saja gagal, Paidi jauh lebih kuat dan Alya sama sekali tidak mengeluarkan tenaga, bahkan sepertinya dia menginginkan Paidi menyentuhnya! Dia ingin supir itu melanjutkan niatnya!


Payudara Alya segera tergenggam tanpa halangan oleh tangan buas Paidi. Diremas dan digoyangnya payudara istri Hendra yang jelita itu sesuka hati. Alya merintih tak berdaya, ia tak mampu mengontrol tubuhnya sendiri. Sensasi hangat serangan Paidi membuatnya tenggelam dalam kenikmatan dan tak ingin melawan. Yang dilakukan Paidi sama sekali berbeda dengan Pak Bejo yang memaksakan kehendak, Paidi membuat Alya keenakan sehingga justru Alyalah yang ingin meminta lebih. Alya berusaha melawan keinginan dirinya sendiri yang tidak tahan ingin segera membuka kaki lebar - lebar agar Paidi bisa memasukkan penisnya ke dalam... tidak! Alya tidak mau itu terjadi! Alya harus melawan!


Paidi menatap penuh pesona ke pentil susu Alya yang kini menjorok ke atas, benda mungil merekah itu seakan menantangnya. Sangat menggiurkan dengan warnanya yang gelap kecoklatan. Balon buah dada Alya bagaikan benda pusaka yang masih terawat rapi. Dia tak boleh membiarkannya sia - sia! Kepala Paidi segera turun ke bawah, bibirnya melumat tanpa ampun pentil susu yang sedari tadi terus menantangnya itu!


Alya melonjak kaget ketika mulut hangat Paidi menangkup puting payudaranya. Apalagi ketika bibir pria tua itu lalu mencium dan lidahnya menjilat seluruh balon buah dadanya! Akhirnya, tanpa dipaksa, Alya mendorong dadanya ke depan agar Paidi bisa lebih leluasa menikmati dadanya. Gigi Paidi bahkan menggigiti daerah ujung pentilnya, membuat sensasi kenikmatan menjalar dari dada ke seluruh tubuh, bahkan jari kaki Alya sampai merenggang karena keenakan!


"Oooooh!" lenguh Alya menahan nikmat.


Paidi menyeringai dan menggerakkan giginya dengan tenaga. Paidi bisa merasakan tubuh Alya yang gemetar dan menggelinjang karena rangsangan hebatnya pada puting susunya. Dengan sigap lidah Paidi melingkari pentil yang masih menonjol keluar. Hal ini membuat Alya makin salah tingkah, tubuhnya melengkung ke belakang, matanya terpejam dan tanpa sadar wanita cantik itu menghunjukkan buah dadanya ke mulut sang supir yang terus merangsangnya.


Bertentangan dengan apa yang ia rasakan, Alya menggunakan kedua tangannya untuk terus mendorong tubuh Paidi agar segera melepaskan pelukannya. Akhirnya Paidi bersedia mundur sesaat, ia melepaskan pentil payudara Alya, lalu memperhatikan wajah Alya, menikmati kecantikannya. Mata Alya sangat indah, bercahaya dan penuh pengharapan. Buah dada kirinya yang belum tersentuh terlihat gersang dibanding buah dada kanan yang terus menerus diserang sejak tadi.


"Sudah... cukup! Aku... tidak bisa melanjutkan ini semua, aku harus pergi!" pinta Alya dengan suara bergetar. Tangan si manis itu terus berada di pundak Paidi, menghalanginya mendekat. Tapi Alya tidak melakukan apapun untuk menutup payudaranya yang telanjang. Paidi kembali menyeringai dan menurunkan kepalanya ke dada kiri Alya.


"Jangan!" tangan Alya mencoba mencegah Paidi agar tidak mendekat. Namun tangan ramping Alya bukanlah penghalang berarti bagi supir tua berwajah buruk itu, dengan sigap ia menangkup pentil kanan Alya dengan mulutnya dan kembali menyebarkan sengatan kehangatan ke seluruh tubuh sang ibu muda.


Demi dewa... Paidi sungguh sangat kuat! Alya tak mampu berkutik. Si cantik itu hanya bisa megap - megap menggapai nafas ketika gigi Paidi mengunyah puting payudaranya, setelah pentil itu menonjol, lidah Paidi ganti menjilati sisi areolanya. Tubuh Alya melenting ke belakang, ia berusaha melepaskan dadanya dari mulut Paidi, namun belum sampai payudaranya bebas, Alya sudah terganggu oleh tangan sang supir yang dengan nakal menjelajah ke bawah roknya dan membelai ke atas menuju selangkangan!


Alya ingin melepaskan diri dari pelukan Paidi, sungguh dia telah berusaha, namun supirnya ini telah memakunya di atas sofa. Alya benar - benar tak berdaya di bawah rengkuhan sang lelaki kurus. Tubuh Paidi mengunci rapat kaki dan lengan Alya sementara gigi, bibir dan lidahnya merangsang habis - habisan puting payudara istri Hendra itu. Belum lagi rangsangan yang datang dari bawah roknya... apa yang bisa dilakukan Alya kecuali pasrah?


Tangan Paidi yang hangat berputar - putar di paha sang wanita pujaan, melaju ke atas tanpa halangan. Tangan hitam di atas paha putih mulus, sangat kontras. Paidi mengagumi seluruh tubuh Alya, paha yang ia sentuh ini dulu adalah milik suaminya seorang, sebelum akhirnya Alya jatuh ke jebakan maut Pak Bejo.


Ketika melihat Paidi lengah, Alya melawan lagi. Bayangan wajah suami yang ia cintai mendatangi benaknya dan ia melakukan semua yang ia bisa untuk mendorong sang supir. Tapi... tapi... ini enak sekali...! Mas Hendra sekarang berubah menjadi laki - laki dingin yang tak berperasaan, padahal Alya masih sangat membutuhkan belaian kasihnya! Apakah kini apa yang ia lakukan adalah hal yang salah? Membiarkan Paidi menguasai tubuhnya? Alya butuh kehangatan seorang laki - laki! Ia tidak mau terus menerus melayani Pak Bejo... ia ingin melakukannya dengan orang yang dia suka! Hasrat birahinya selalu bergejolak... Alya bingung saat ini, apakah dia diperkosa Paidi... atau justru membuka diri terhadap supirnya itu? Toh seandainya ia melayani Paidi, tidak akan ada orang yang tahu, kan? Batin Alya berkecamuk. Ini enak sekali... apa yang harus ia lakukan? Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ini memang enak sekali...


Tidak ada orang yang akan tahu, kan? Termasuk Mas Hendra!?


Saat perang berkecamuk dalam batin Alya, tangan Paidi leluasa masuk ke dalam celana dalamnya yang mungil dan membiarkan rok Alya tetap di tempatnya. Kini ia lebih bebas bergerak merangsang sang nyonya majikan! Tangan Paidi meraih tempat yang lebih atas dan Alya membiarkan laki - laki yang bukan suaminya ini membuka kakinya lebar - lebar. Tubuh wanita cantik itu menegang ketika Paidi menemukan bibir vaginanya yang lembut bagai sutra. Alya melonjak kaget saat sang supir mulai membelai bibir kemaluannya secara perlahan - lahan.


Ya Tuhan! Tidak seharusnya ia mengijinkan Paidi melakukan ini! Tapi batin Alya berkecamuk... benarkah dia yang mengijinkan? Paidi walaupun kurus jelas lebih kuat dan perkasa, bahkan mungkin lebih kuat dari Mas Hendra saat ia sedang sehat sekalipun! Tangan, bibir dan gigi Paidi dibiarkan bebas berbuat apa saja dengan tubuhnya, bagaimanapun caranya Alya menolak, ia tidak mampu menahan keinginan Paidi. Namun... ia juga tidak diperkosa... ia mengijinkan Paidi menggumulinya!


Sekilas rasa takut menyambar batin Alya. Setelah semua peristiwa mengerikan yang ia alami dengan Pak Bejo, ia tidak ingin kehilangan kontrol atas situasi lagi. Apa yang ia alami saat ini adalah karena ia kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Ia tidak ingin jatuh ke dalam kubangan yang lebih dalam. Hanya saja... saat ini, di atas sofa ini, Alya jelas tidak sedang mengontrol apapun. Sensasi birahi berlebih membuat tubuhnya lemah atas semua rangsangan. Alya tidak ingin mengkhianati suaminya... tapi apa yang Paidi lakukan sungguh membuatnya terbang ke awang - awang.


Satu jari telunjuk masuk ke dalam memek Alya.


Wajah wanita cantik itu memerah karena malu saat ia menyadari memeknya sudah mulai basah. Sangat memalukan menjaga harga diri di hadapan supirnya kalau memeknya sudah mulai membanjir seperti ini. Dari wajahnya yang tersenyum, Alya yakin Paidi juga sudah tahu hal itu. Tangan Alya meraih lengan Paidi, ia berusaha mendorong tangan itu meninggalkan tubuhnya. Tapi Paidi jauh lebih kuat, bukannya tangan Paidi yang terdorong menjauh, malah justru tangan Alya yang kini digenggam oleh sang supir.


Paidi membimbing tangan Alya yang halus ke dalam selangkangannya. Jari - jari lentik Alya segera bersentuhan dengan batang kejantanan yang hangat, besar dan panjang. Kaget, Alya menarik tangannya mundur. Si cantik itu terkejut dengan kehangatan dan kerasnya batang kemaluan Paidi. Alya tidak tahu sejak kapan Paidi mengeluarkan kemaluannya dari dalam celana. Paidi tidak menyerah begitu saja, supir nakal itu menarik kembali tangan Alya dan membimbingnya lagi ke kontolnya yang besar dan hitam. Kali ini Alya tidak melawan. Jari - jari mungilnya mengitari batang besar kontol Paidi.


Ukuran kontol Paidi ini pas sekali dalam genggaman tangan mungil Alya, ukurannya yang besar tidak cocok dengan postur tubuh Paidi, tapi sangat mempesona ibu muda satu anak itu. Urat - urat yang mengitari batang kemaluan Paidi berdenyut dalam genggaman tangan Alya, wanita cantik itu berusaha mencari cara untuk menghindari kekagumannya pada alat vital Paidi, namun seperti anggota tubuh yang telah dipasangi susuk, Alya tidak bisa melepas pandangan dari kemaluan Paidi. Ingin sekali rasanya Alya merasakan kontol Paidi itu di dalam memeknya, ia tidak yakin benda besar dan panjang ini bisa masuk seluruhnya, tapi... Alya tidak akan mengijinkan Paidi menyetubuhinya. Ya. Itu pasti. Tidak mungkin. Tidak boleh.


Tangan Paidi meraih pergelangan tangan Alya dan membimbingnya mengocok kemaluannya secara perlahan. Kontol Paidi yang hitam, besar dan panjang membuat Alya sangat terpesona. Penis Paidi memang tidak segemuk milik Pak Bejo, tapi lebih panjang dan sangat keras. Panjangnya melebihi milik Mas Hendra. Hitam... besar... panjang...


Setelah beberapa saat membiarkan tangan Paidi membimbingnya, Alya tidak membutuhkan dorongan apapun lagi untuk terus menikmati kemantapan alat kelamin Paidi, ketika Paidi melepas tangannya, Alya masih terus mengocok kontol pria kurus itu. Apa yang dimiliki supirnya itu seakan - akan mengingkari hukum alam, bagaimana bisa orang sekurus dan sehitam Paidi memiliki penis yang seperti ini? Begitu besar dan panjang... tangan Alya bergerak turun ke pangkal batang kemaluan Paidi, mengagumi ukuran kejantanan yang sebelumnya belum pernah ia lihat. Nafas Alya makin berat, nafsunya mengambil alih, birahinya makin meningkat. Alya tidak akan keberatan kalau benda ini dicoba dimasukkan ke dalam liang kenikmatannya... tapi... tapi...


Saat itulah Paidi mendorong jarinya yang panjang ke dalam bagian terlarang milik Alya. Terpengaruh oleh rangsangan bertubi, Alya mencoba menyikapi dengan kesadaran yang tersisa. Hanya ada satu konsekuensi yang akan ia peroleh jika mengijinkan Paidi melakukan rangsangan lagi, dan hal itu tidak boleh terjadi.


Alya berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Dia telah menikah. Dia mencintai Hendra, suaminya. Dia tidak mencintai Paidi, dia tidak mencintai Pak Bejo. Tubuhnya hanya milik Hendra, suaminya. Dia tidak boleh membiarkan ini semua berlanjut!


"Lepaskan aku!" tuntut si seksi itu. Tapi Paidi tidak menghiraukannya. Bibir pria hitam dan kurus itu masih terus memagut leher putih mulus milik Alya. Jari jemari Paidi menusuk lebih ke dalam. Kaki Alya menggeliat dan menjepit tangan Paidi, ia berusaha menarik tangan Paidi keluar dari selangkangannya.


"Ini sudah keterlaluan, kita tidak boleh melakukan ini! Aku ini istri orang!"


Paidi malah nyengir ketika dia diingatkan bahwa tubuh molek yang menggiurkan yang sedang menggeliat di bawah tubuhnya ini adalah milik laki - laki lain, tubuh seorang majikan bahkan! Dengan nekat Paidi memutarkan jarinya di bibir kemaluan Alya yang makin lama makin basah, lalu menusukkan jarinya itu ke dalam memek Alya lebih dalam lagi.


Ketika jari Paidi melesak masuk, tanpa sadar Alya meremas kemaluan Paidi dengan kencang. Penis itu begitu besar dan keras, Alya seakan tak mampu menggenggamnya utuh karena ukuran lingkarnya yang sangat besar. Dia tak pernah menduga orang sekurus Paidi memiliki penis yang sedemikian besarnya, ia sudah memperkirakan ukurannya, tapi penis milik Paidi ini melebihi semua imajinasi lliarnya. Batang kemaluan hitam besar milik Paidi berdenyut dalam genggaman tangan Alya yang halus, si cantik itu bisa merasakan denyut yang bergerak di urat yang bertonjolan di batang yang terisi oleh desakan darah dan sperma yang siap diledakkan.


Paidi menarik jarinya dan merubah posisi. Ia mengangkat tubuhnya sehingga Alya kini bisa melihat langsung ukuran sebenarnya batang kemaluan laki - laki yang baru saja menindihnya. Mata indah si cantik itu langsung terbelalak!


Luar biasa besarnya!


Jauh lebih besar daripada milik Hendra atau bahkan Pak Bejo!


"Ya Tuhan!" desis Alya yang terkejut.


Paidi nyengir. Dia bangga dan bahagia melihat reaksi majikannya yang terkejut saat melihat ukuran kontolnya. Reaksi jujur yang ditunjukkan oleh Alya sungguh sedap baginya. Rasa ketakutan karena tak ingin ketahuan, perasaan bersalah, nafsu yang menggelegak yang sangat terlihat di wajah Alya adalah keindahan sempurna bagi Paidi. Inilah yang membuatnya terangsang hebat.


Alya memang bukan seorang perawan, tapi Paidi memperkirakan tusukan pertama penetrasinya akan seret sekali, karena walaupun sudah pernah berkali - kali melayani nafsu binatang Pak Bejo, memek Alya masih sangat mungil.


Alya memandang penis Paidi dengan penuh ketakutan sekaligus kekaguman. Seakan ia berhadapan langsung dengan seekor ular kobra dan takut untuk menggerakkan tubuh sedikitpun. Bagi Paidi, menyaksikan konflik batin ibu muda yang jelita itu sungguh suatu kenikmatan yang tak terkira.


"Apakah ini yang anda inginkan selama ini?"


Alya menatap Paidi bingung, apa maksud kata - katanya itu?


Paidi tersenyum dan mengulangi lagi ucapannya,

"setelah selama ini ditiduri oleh laki - laki lemah seperti Pak Hendra dan laki - laki brengsek seperti Pak Bejo... apakah ini yang ibu inginkan? Kejantanan sejati seperti ini?"


Continue...


NEXT... Permainan terlarang 18. Eps: Kemelut Cinta Alya. Bag,2


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]