Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

Eps: Serangan Para Pria Tua


Pak Hasan adalah mertua Lidya dan ayah kandung Andi. Usianya sudah 58 tahun, bertubuh gemuk, botak dan sudah menduda sejak 12 tahun terakhir. Setelah kehilangan rumahnya yang berada di desa karena tidak bisa membayar hutang yang menumpuk, Pak Hasan sedianya akan ditampung sementara oleh Andi dan menantunya Lidya yang sama-sama baru berusia 26 tahun sebelum nantinya mendapat rumah kontrakan yang baru.


Pak Hasan mengetuk pintu depan dan menantunya yang ayu segera menyambutnya. Si seksi itu hanya mengenakan daster tipis yang menerawang, khas baju ibu-ibu rumah tangga. Tapi entah kenapa, saat Lidya yang mengenakan baju itu, terlihat sangat menggairahkan. Lidya terlihat sangat cantik dan segar.


"Lho? Bapak? Aku kira bapak baru akan datang besok lusa? Ayo masuk dulu," kata Lidya sambil memutar badan. Walau tertutup daster, tapi Pak Hasan bisa melihat jelas lekuk pantat sempurna milik Lidya yang menerawang di balik daster. Lidya, seperti juga kakak-kakaknya memiliki kecantikan natural yang sempurna. Walaupun menantu Pak Hasan itu memiliki perangai yang manis, ceria dan suka bercanda, tapi sosok ayu dan seksinyalah yang membuat setiap lelaki ingin menidurinya.


"Mas Andi belum pulang, tapi sebentar lagi pasti datang."

"Tadi aku naik bis yang sore." kata Pak Hasan sambil mencari sofa untuk duduk.

"Oh begitu. Istirahat dulu, Pak. Anggap saja rumah sendiri." Jawab Lidya sambil membungkuk untuk mengambil cangkir yang ada di meja di depan Pak Hasan. Karena daster yang dipakai Lidya sangat longgar, gerakan ini membuat Pak Hasan bisa mengintip celah buah dada putih ranum yang menggiurkan di balik BH Lidya.


Melihat keseksian menantunya, kemaluan Pak Hasan langsung mengeras. Mertua Lidya itu segera menyembunyikan tonjolan di selangkangannya karena malu. Setelah menata meja, Lidya duduk di depan Pak Hasan dan menyilangkan kakinya, seakan memamerkan kakinya yang putih, mulus dan jenjang dengan bulu-bulu halus yang menggairahkan. Pak Hasan harus konsentrasi penuh untuk mendengarkan pertanyaan Lidya.


"Jadi bagaimana perjalanannya? Capek yah, Pak?"

"Lumayan melelahkan. Lima jam perjalanan."


Mata Pak Hasan bergerak menelusuri seluruh lekuk tubuh Lidya, dari atas sampai bawah, dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Hampir 5 tahun sudah Pak Hasan tidak melakukan kegiatan seksual. Setelah kematian istrinya, Pak Hasan sering memanggil pelacur saat masih tinggal di desa. Tapi kemudian berhenti karena hutang-hutangnya kian bertumpuk dan dia tidak bisa membayar seorang pelacurpun. Lidya mulai sedikit rikuh dengan tatapan mata Pak Hasan yang seakan menelanjanginya.


"Aku naik dulu ke kamar ya, Pak. Mau mandi sebentar lalu aku siapkan makan malam. Bapak pasti sudah lapar kan? Anggap aja rumah sendiri," kata Lidya sambil menaiki tangga. Mata Pak Hasan tidak lepas dari goyangan pantat menantunya yang aduhai sampai ke atas tangga. Walaupun sudah uzur, tapi Pak Hasan tetap laki-laki normal, dia butuh melepaskan hasrat birahinya. Dia ingin masturbasi untuk melepaskan gejolak nafsunya.


Saat itu telepon berbunyi. Pak Hasan mengangkatnya.


"Halo?"

"Halo, ini Bapak ya?", tanya suara di ujung, yang rupanya suara Andi.

"Iya, ini Bapak, Ndi," kata Pak Hasan.

"Pak, aku minta maaf aku nggak bisa pulang hari ini, soalnya aku harus lembur di luar kota dan baru akan pulang sekitar hari Minggu sore. Mendadak banget dan tidak bisa ditunda. Tolong pamitin ke Lidya ya. Pesawatnya hampir berangkat, aku tidak bisa lama-lama. Maaf tidak bisa menemani Bapak. Aku telpon kalau sudah sampai di sana nanti."

"Baik, Ndi. Nanti Bapak sampaikan. Iya."


Setelah mengucapkan salam perpisahan, Pak Hasan menutup telepon.


Pak Hasan berniat untuk membawa tas-tasnya yang berisi baju ke kamar atas. Perlahan dia menaiki tangga, melewati kamar utama -- tempat tidur Lidya dan Andi. Terdengar deru suara air mengalir dari kamar mandi yang terletak di dalam kamar utama. Pak Hasan meletakkan tasnya di depan pintu kamar. Setelah berpikir keras, dia memutuskan untuk memasuki kamar tidur utama pasangan Andi dan Lidya.


Di atas ranjang terdapat celana jeans dan atasan kaos putih. Saat mengambil kaos itu Pak Hasan mendapati BH dan celana dalam tipis yang juga berwarna putih. Pak Hasan benar-benar tidak kuat lagi menahan birahinya. Diambilnya celana dalam Lidya, dibukanya celananya sendiri, dan mulailah ayah mertua Lidya itu coli dengan menggesekkan celdam Lidya di kontolnya yang mulai keriput.


Detak jantung Pak Hasan makin cepat karena ia tahu menantunya sedang mandi sementara dia coli menggunakan celana dalam yang akan dipakai Lidya. Gerakan Pak Hasan makin meningkat cepat karena saat coli Pak Hasan membayangkan enaknya menikmati tubuh Lidya di ranjang dan bagaimana rasanya memeluk menantunya yang cantik itu. Pak Hasan membayangkan asyiknya melihat tubuh molek Lidya terhentak-hentak didera sodokan penisnya.


Pak Hasan mengintip sedikit ke kamar mandi. Lidya rupanya lalai dan membiarkan pintu kamar mandi sedikit terbuka, memudahkan akses bagi mertuanya mengintip. Pak Hasan mendapati Lidya sedang menyabuni buah dadanya yang besar dan kenyal.


"Wow. Tubuh si Lidya benar-benar indah. Sangat seksi," batin Pak Hasan.

"Seandainya mungkin, aku ingin masuk ke dalam sana dan mengenthu menantuku yang aduhai itu."


Pak Hasan meneruskan colinya di celdam Lidya saat menantunya itu membungkuk untuk menyabuni kakinya yang jenjang dan pahanya yang mulus. Tak lama kemudian, Lidya bersandar pada dinding sementara air shower membilas tubuhnya yang putih mulus. Tangan kiri Lidya menangkup buah dadanya yang indah. Jari jemarinya mulai mengelus dan menowel-nowel pentilnya. Pak Hasan terpana melihat menantunya itu memainkan payudaranya. Tangan kanan Lidya menuruni perutnya yang langsing dan masuk ke selangkangannya.


"Aaaaahhhhhh," Lidya mendesah kecil.


Tangan kiri Lidya yang penuh gelembung sabun itu kini memilin dan meremas-remas pentil payudaranya hingga mengeras, lalu meremas buah dadanya bergantian. Tangan kanan Lidya masih berada di selangkangannya. Semakin mencondongkan tubuhnya ke belakang, Lidya membentangkan kakinya sedikit. Pak Hasan bisa melihat jari jemari lentik tangan menantunya keluar masuk memeknya sendiri. Pak Hasan terpesona melihat si cantik Lidya menggunakan jempolnya untuk menggosok dan menggerakkan daging menonjol yang ada di ujung atas bibir vaginanya.


"Ah! Ah! Ah! Ehm! Ehm! Ooooohhh!!!" kaki Lidya melengkung saat si jelita itu melenguh perlahan. Akhirnya tangan kirinya turun lemas ke samping badannya, sementara jari-jarinya tangan kanannya berhenti bergerak, namun tetap berada di dalam liang vaginanya.


Pak Hasan merasakan air maninya membanjir. Tangannya belepotan sperma dan ia membersihkannya menggunakan celana dalam Lidya. Terdengar suara shower dimatikan dan Lidya mulai keluar dari shower. Secepat kilat Pak Hasan meletakkan celdam Lidya seperti sediakala dan meninggalkan kamar itu. Pak Hasan menutup pintu kamar, namun masih membuka sedikit celah. Saat sudah beranjak meninggalkan tempat itu, terlihat Lidya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang terlilit di tubuhnya yang indah.


Pak Hasan sebenarnya bisa langsung orgasme hanya dengan melihat Lidya setengah telanjang dan hanya mengenakan handuk, ternyata mertua mesum itu jauh lebih beruntung daripada yang dia kira. Tak sengaja, Lidya menjatuhkan handuknya ke lantai. Tanpa sepengetahuan wanita ayu itu, sang ayah mertua yang nafsu birahinya sedang memuncak ada di luar kamar sedang mengawasi tiap gerak-geriknya yang molek. Karena memunggungi pintu, Pak Hasan bisa menyaksikan pantat putih mulus Lidya yang sempurna.


Perlahan-lahan Lidya berbalik dan Pak Hasan hampir tak kuat menahan nafsu. Baru kali inilah dia menyaksikan keindahan tubuh Lidya secara langsung tanpa sehelai benangpun. Rambut di atas kemaluan Lidya terlihat terawat karena dipotong rapi dan sangat lembut, sementara payudara Lidya yang montok sangat ranum dan besar. Si molek itu mengambil handuk lalu mengeringkan rambutnya yang dikeramas. Karena bergerak cepat, buah dada Lidya bergoyang ke kanan dan ke kiri dengan erotis. Pak Hasan meletakkan satu tas kresek yang dibawanya dan mulai mengocok kontolnya lagi.


Saat Lidya usai mengeringkan rambut, istri Andi itu mengambil celana dalamnya dengan sedikit membungkuk. Tentu saja Pak Hasan makin puas karena bisa melihat lebih jelas ke arah lubang anus sang menantu. Untung saja Pak Hasan kuat menahan diri, bisa saja ia masuk ke dalam dan menyetubuhi Lidya dari belakang dengan paksa. Warna merah muda anus mungil milik menantunya itu sangat mengundang selera sang pria tua. Pak Hasan berandai-andai apakah anaknya si Andi pernah menyodomi istrinya. Lidya mulai mengenakan celana jeansnya dan kembali payudara si cantik itu bergoyang-goyang. Pemandangan erotis ini makin lama makin memuaskan Pak Hasan. Tak perlu waktu lama, sperma pria tua itu akhirnya meledak di dalam celana.


Pak Hasan mengambil semua tasnya dan berjalan kembali ke kamar untuk berganti pakaian. "Situasinya menarik sekali!", batin laki-laki tua itu sambil membersihkan tangan dengan tissue. "Aku sendirian di rumah selama beberapa hari dengan menantuku yang cantik jelita dan sangat seksi itu! Aku harus mendapatkan tubuh Lidya! Aku harus menanamkan penisku di memeknya yang wangi secepatnya!"


Entah apa yang akan dilakukan Andi seandainya dia mengetahui rencana ayah kandung pada istri yang dicintainya.


###


Setelah hampir setengah jam menonton TV dan menghabiskan rokok, Pak Bejo kembali mengajak Alya. "Sudah waktunya. Ayo."


"Ayo kemana?" tanya Alya.

"Sini. Berlutut di depanku." Perintah Pak Bejo sambil membuka kakinya.

"Pak Bejo! Saya mohon, jangan suruh saya melakukan hal itu lagi! Saya tidak pernah menyukai melakukan hal itu sebelumnya!"

"Oke. Oke." kata Pak Bejo. Pria tua itu sepertinya memahami dan melangkah ke arah Alya.


Alya bahkan tidak punya kesempatan mengelak saat kemudian Pak Bejo menampar pipinya dengan keras. Alya pun menangis tersedu-sedu. Belum pernah seumur-umur dia diperlakukan dengan kasar oleh seorang pria. Airmatanya meleleh dan isak tangisnya terdengar hingga beberapa saat.


Pak Bejo kembali duduk di hadapan Alya.


"Berapa kali aku harus ngomong sama Mbak Alya kalau Mbak Alya sudah tidak punya pilihan lain lagi? Mbak Alya harus menuruti semua perintahku. Jadi ada baiknya kalau Mbak Alya juga mulai menikmati apa yang aku perintahkan. Jadi merangkaklah kemari dan jangan pernah membantah apa yang aku perintahkan lagi!" ancam Pak Bejo.


Kali ini tidak ada ulangan perintah. Dengan penuh kepasrahan, Alya menyepong tetangganya yang mesum dan berusaha menahan diri agar kali ini dia tidak mual lagi. Pak Hasan melenguh keenakan dan sesekali tertawa terbahak-bahak menikmati enaknya disepong wanita secantik Alya. Setelah usai menyepong, Alya duduk di lantai. Ia masih berada di daerah selangkangan Pak Bejo. Wajahnya yang jelita hanya beberapa centimeter saja dari kontol besar Pak Bejo. Si cantik itu bahkan sudah terlalu takut dan malu untuk mengamati bentuk kontol kebanggaan tetangganya itu. Pak Bejo tahu dia sudah menaklukan wanita cantik bertubuh indah ini.


Alya melihat ke arah jam dinding dan langsung kaget. Opi sebentar lagi pulang! Dengan buru-buru Alya melepaskan diri dari pelukan mesra Pak Bejo dan berdiri.


"Pak Bejo, anda harus pergi sekarang. Opi sebentar lagi pulang dan..."

"Ijinkan aku menciummu sekali lagi." Kata Pak Bejo sembari melihat ke selangkangan Alya dengan pandangan nafsu.


Alya mendekatkan tubuhnya ke Pak Bejo dan merenggangkan kakinya, memberikan akses penuh pada pria tua itu untuk bisa mencium bibir kemaluannya. Pak Bejo segera mengulum-ngulum bibir vagina Alya dengan buas. Alya merem melek dan melenguh tak henti-henti. Kenikmatan bercampur rasa bersalah menguasai istri Hendra itu.


Setelah beberapa saat menjilati, Pak Bejo bangkit.


Pak Bejo mulai berpakaian. Alya merasa aneh karena kini dirinya mulai terbiasa dan tidak merasa malu lagi telanjang bulat dihadapan pria tua ini.


"Aku akan kembali lagi. Mungkin besok, waktu yang sama. Saat membuka pintu, aku harap Mbak Alya tidak mengenakan sehelai benang pun. Besok aku akan memberikanmu kenikmatan yang terhebat dan aku akan mengambil lubang keperawananmu yang tersisa."


Alya mengangguk karena berharap pria tua brengsek ini segera meninggalkan rumahnya. Setelah berpamitan dan meremas-remas dada Alya, Pak Bejo pun pergi. Alya menutup pintu rumah sambil menangis tersedu-sedu. Dia ambruk ke kasur dan bertanya-tanya dalam hati. Apa yang dimaksud begundal tua itu dengan 'lubang perawan yang tersisa?'.


Tapi karena Opi hampir pulang, Alya memaksakan diri untuk bangun. Dia mandi dan menggosok seluruh tubuhnya yang kotor. Dia telah dijilati oleh lidah seorang pria yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya akan menggaulinya. Alya membersihkan tubuhnya dan mandi lebih lama dari biasanya.


Saat itulah dia sadar.


"Aku memang bodoh." Renung ibu rumahtangga yang jelita itu dalam hati. Jangan-jangan yang dimaksud Pak Bejo adalah lubang anusnya? Pasti akan sangat menyakitkan. Jari jemarinya yang lembut menelusuri bagian belakang tubuhnya, mengitari pantatnya yang bulat. Dia meremas pantatnya sendiri dan menangis sejadi-jadinya.


Pasti akan sangat menyakitkan.


###


Setelah mandi dan membersihkan diri, Pak Hasan kembali turun ke ruang keluarga. Dia duduk di sofa dan menonton berita di televisi, berharap bisa sejenak melepaskan hasrat birahinya yang liar kepada menantunya sendiri. Tidak lama kemudian, Pak Hasan mendengar suara lembut dari atas tangga.


"Pak, siapa tadi yang telepon?"

"Oh, itu si Andi dari bandara," jawab Pak Hasan. "Katanya dia harus langsung lembur dan berangkat ke luar kota malam ini juga. Baru pulang hari Minggu sore. Untuk keperluan bisnis atau yang lain, Bapak kurang paham."


Pak Hasan mendengar gerutu kecil dari Lidya tentang kebiasaan Andi yang jarang pulang dan lain sebagainya. Tak lama kemudian Lidya turun ke ruang keluarga. Pak Hasan hanya bisa menatap takjub penampilan menantunya yang indah itu. Lidya memakai baju putih tanpa lengan yang membuat buah dadanya yang besar terlihat menonjol menantang dan celana jeans yang hampir-hampir tidak sampai ke pinggulnya. Dari belakang, Pak Hasan bisa mencuri pandang belahan pantat Lidya.


Pak Hasan mulai terangsang lagi saat membayangkan Lidya menggunakan celdam yang tadi digunakan oleh Pak Hasan untuk coli. Rambut indah panjang Lidya diikat kucir kuda dan membuat si cantik itu tampak lebih muda. Pak Hasan menahan diri dan kembali menatap layar televisi.


Lidya mulai menyiapkan makan malam sementara Pak Hasan menyusulnya ke dapur untuk melihat apakah dia bisa membantu Lidya. Sekitar dua puluh menit memasak dan bercakap-cakap, makanan pun siap. Tak disadari oleh Lidya kalau sedari tadi Pak Hasan memanjakan matanya dengan mengamati setiap lekuk tubuh Lidya dari atas sampai bawah sementara Lidya memasak. Pantatnya yang bulat dan montok itu makin terlihat sempurna karena ketatnya celana jeans yang dikenakan. Saat mengambil bumbu di atas lemari, celana dalam putih yang dipakai Lidya sedikit terangkat dan terlihat oleh Pak Hasan. Lelaki tua itu puas melihat menantunya memakai celdam yang sama yang dia gunakan untuk coli.


Pak Hasan langsung membayangkan nikmatnya menubruk tubuh Lidya, membungkukkan tubuh si cantik itu ke depan, dan melesakkan kontolnya ke dalam memek Lidya sementara tangannya meremas-remas susunya. Lamunan itu sirna begitu Lidya berbalik dan menghidangkan makan malam.


###


Tangan Dina bergetar hebat saat dia melepaskan kancing bajunya. Pandangan mata Pak Pramono tidak lepas dari payudara Dina yang masih tertutup kemeja, menunggu dengan penuh harap untuk menyaksikan susu Dina dalam kondisi tidak tertutup sehelai benang pun. Dina ingin berhenti, tapi terus membuka kancing dan melepas bajunya. Bh dan isinya yang putih mulus dan montok menjadi perhatian utama Pak Pramono. Dina meraih kancing BH di belakang dan melepaskannya. Saat BH itu menggantung di atas payudaranya, Dina mulai ragu-ragu dan berusaha menggunakannya menutup buah dadanya. Dina melepaskan celananya sambil masih memegang BH.


Pak Pramono jelas menikmati pertunjukan ala striptease ini. Sudah jelas bagi pria tua itu bagaimana malunya perasaan Dina, yang tentu malah menambah nikmat rangsangannya. Saat buah dada Dina keluar dari BH, Pak Pramono bisa melihat pentil payudara Dina sudah membesar, tentu karena udara dingin. Saat melepas celana panjang, Pak Pramono memperhatikan celana dalam yang dipakai Dina. Celana dalam putih biasa saja. Hal ini justru menambah minat Pak Pram. Lebih jelas lagi kalau Dina adalah seorang ibu rumah tangga yang sederhana dan mungkin orang yang pernah melihat Dina dalam kondisi setengah telanjang hanyalah Anton dan dirinya sendiri.



Dina menggigil ketakutan. Wanita cantik itu berdiri setengah telanjang di hadapan pria asing yang juga bos dari suaminya. Satu tangan mengapit BH yang sudah hampir copot agar tetap menutupi payudara dan tangan yang satu lagi menangkup selangkangannya. Dengan satu gerakan dilemparkannya BH ke samping sehingga Pak Pramono bisa menyaksikan tubuh bugil istri pegawainya.


Pak Pramono menatap si cantik Dina dan menikmati ketidaknyamanan wanita itu. Tapi dia kemudian menjadi tidak sabar. Pak Pramono membuka tasnya dan melambaikan amplop manila ke arah Dina. Istri Anton itu tahu apa yang dimaksud Pak Pramono dan mengambil nafas sekaligus keberanian ganda. Dina menarik celana dalamnya ke bawah secepat mungkin dan langsung menutup selangkangannya kembali dengan tangannya. Dina kini sudah berdiri tanpa sehelai benangpun di hadapan Pak Pramono, dan berusaha keras menutupi payudara dan vaginanya.


"Letakkan tanganmu di samping," kata Pak Pramono dingin.


Dina tahu inilah saatnya. Saat-saat penentuan. Apakah dia akan menunjukkan tubuh telanjangnya pada laki-laki di hadapannya ini? Setelah mempertimbangkan resiko tidak melakukannya, Dina menarik nafas panjang dan menyerah. Berdiri tegap dan bergetar hebat, Dina akhirnya mempersembahkan keindahan tubuh telanjangnya yang luar biasa mempesona pada pria selain suaminya. Dina membenci pandangan asusila Pak Pramono pada dirinya, dia membenci pandangan laki-laki tua yang sedang memuaskan diri dengan menjelajahi sekujur tubuh Dina.


"Berbaliklah... perlahan," kata Pak Pramono.


Dina menurut, dia berbalik memutar badan. Pantatnya yang mulus terangkat merangsang di hadapan Pak Pramono. Dina terus memutar sampai dia kembali berhadapan dengan Pak Pramono.


"Aku tadi bilang berbalik. Bukan memutar," kata Pak Pramono galak.


Sekali lagi Dina memutar badan, tapi kali ini dia berhenti saat pantatnya berada di depan Pak Pramono. Ruangan itu menjadi sunyi dan bagi Dina semuanya menjadi lebih parah karena tidak bisa melihat ke arah Pak Pramono. Dia tidak tahu apa yang sedang dilakukan laki-laki tua itu. Bagi ibu muda yang cantik dan sederhana itu, kesunyian ini seakan berlangsung amat lama.


"Renggangkan kakimu," suruh Pak Pramono.

"Bagus. Sekarang membungkuklah dan lihat kemari melalui sela-sela kakimu."


Dina menahan nafas saat dia melihat ke arah Pak Pramono di antara sela-sela kakinya. Celana panjang sekaligus celana dalam Pak Pramono sudah copot dan penisnya yang mengeras bagaikan menantang langit. Tidak hanya keras, sepertinya kontol Pak Pramono juga lebih besar - lebih besar dan panjang - daripada milik Anton. Dina juga sadar kalau memeknya bisa dilihat jelas oleh Pak Pramono. Angin semilir membelai bibir vaginanya yang terbuka menantang. Sebelum ini belum ada satu orangpun yang pernah menyaksikan liang kemaluannya seperti ini, bahkan suaminya sendiripun belum pernah.


Saat Pak Pramono memintanya mendekat, Dina berdiri tegak dan menarik nafas lega. Tapi ketika dia berdiri di samping bos Anton itu dengan bertelanjang bulat, wajah cantik Dina langsung memerah karena malu. Dina melompat mundur ketika jari jemari Pak Pramono mengelus bagian dalam paha mulusnya.


"Kembali ke sini dan buka kakimu lebar-lebar!"


Dina berjalan gontai ke arah kursi tempat Pak Pramono duduk dan memejamkan mata saat jari jemari Pak Pramono masuk ke vaginanya. Kali ini walaupun tubuhnya menggigil, Dina tidak beranjak seinci pun.


"Memekmu kering. Aku pengen memekmu basah, masturbasi dulu!"


Dina tidak tahu seberapa jauh lagi dia bisa menahan malu. Bos suaminya tengah memasukkan sebuah jari ke dalam memeknya dan menyuruhnya bermasturbasi. Dina pertama kali bermasturbasi saat dia masih remaja. Dina tahu perbuatan ini tidak baik untuk pertumbuhan mental sehingga dia berhenti melakukannya. Tapi kini seorang pria asing memerintahkannya bermasturbasi langsung dihadapannya.


Dina mencari lubang kemaluannya dengan jari tengah dan menggosoknya dengan gerakan pelan. Wanita cantik yang dipermalukan itu kemudian merasakan desakan jari jemari Pak Pramono di dalam memeknya pada saat dia bermasturbasi. Dina tidak tahu mana yang lebih memalukan - saat mata Pak Pramono menatap jari tengahnya atau wajahnya. Kini jari jemari Pak Pramono makin bebas keluar masuk liang vagina Dina karena cairan pelumas dinding vaginanya mulai mengalir.


Pak Pramono mencabut jari jemarinya dan berkata. "Duduk di pangkuanku."


Dina lega saat Pak Pramono menarik jemarinya sehingga Dina bisa berhenti bermasturbasi. Dina mencoba duduk di pangkuan Pak Pramono dengan sesopan mungkin, dia berusaha menutup kedua kakinya dengan rapat. Tapi Pak Pramono menggeleng dan kaki Dina segera dibuka lebar-lebar. Wanita cantik itu mencoba berdiri ketika melihat penis Pak Pramono berdiri tegak menantang.


Pak Pramono tersenyum saat melihat Dina memalingkan wajah dan berkata, "Masukkan ini ke dalam memekmu."


"Kumohon, Pak Pramono! Aku tidak bisa melakukan ini! Aku sudah menikah! Ini...ini akan menjadi skandal! Ini zinah!", Dina merengek.

"Masukkan ini ke dalam memekmu, atau..."


Dina tahu dia tidak punya pilihan lain. Duduk di pangkuan Pak Pramono, Dina mencoba melesakkan penis laki-laki mesum itu ke dalam memeknya tanpa menyentuh batang kemaluan bos Anton itu. Tapi usaha Dina gagal. Ibu rumahtangga yang cantik itu mendesah kecewa dan dengan tertunduk malu meraih batang zakar Pak Pramono dan menaikkannya ke atas. Dina memposisikan vaginanya di atas kontol yang sudah menghadap ke atas lalu perlahan melesakkannya sambil duduk di pangkuan Pak Pramono. Dina bisa merasakan kontol yang besar dan gemuk itu meraja di liang rahimnya. Dina dan Pak Pramono saling bertatapan saat kontol Pak Pramono melesak seluruhnya ke dalam memek Dina.


Tangan Pak Pramono meraih buah dada Dina. Dielus dan diremasnya buah dada putih mulus, molek dan montok itu. Jemarinya menjepit pentil susu Dina dan memutar-mutarnya dengan kasar. Dina merasa sangat malu saat pentil itu mulai membesar. Dina berusaha keras menahan dirinya agar tidak terangsang dengan remasan dan perlakuan Pak Pramono pada buah dadanya, tapi gagal. Payudara Dina menegang dan pentilnya membesar.


Tangan Pak Pramono melepaskan buah dada Dina, tapi kini giliran mulutnya yang nyosor ke susu putih mulus si Dina. Saat Pak Pramono mengelamuti satu pentilnya, Dina bisa merasakan jari jemari Pak Pramono menangkup bulat pantat Dina. Diangkat, lalu diturunkan, lalu diangkat lagi, berulang-ulang. Pak Pramono bergeser ke pentilnya yang lain, lalu menikmatinya untuk beberapa saat.


Setelah bosan, Pak Pramono menyandarkan kepala ke belakang dengan menggunakan lengan sebagai bantalannya. Dengan posisi relaks, Pak Pramono tersenyum sinis.


"Sekarang, genjot kontolku!", perintah Pak Pramono.


Mulut Dina menganga tak percaya, dia telah dilecehkan, dihina dan diperdaya. Tapi wanita jelita itu melakukan apa yang diminta oleh Pak Pram. Karena membutuhkan sandaran, Dina meraih pundak Pak Pram dan perlahan mengangkat tubuhnya. Saat seluruh penis Pak Pram hampir keluar dari memeknya, Dina menghentakkan tubuh ke bawah dan kembali ke pangkuan Pak Pram. Lalu Dina naik lagi, lalu turun, lalu naik, turun, naik turun, naik turun berulang-ulang.


Dina mengentoti Pak Pramono, bosnya Anton. Dinalah yang bergerak naik turun, meskipun Pak Pram sekali-kali menggoyang pinggulnya untuk menumbuk gerakan turun tubuh Dina, tapi ibu muda itulah yang bekerja keras. Dinalah yang saat ini sedang menyetubuhi Pak Pram! Meskipun hal itu saja sudah memalukan, tapi Dina kian tak punya muka saat merasakan kehangatan yang nikmat merajai liang vaginanya. Penis Pak Pram yang jauh lebih besar dari penis suaminya menjejal liangnya yang sempit dan memenuhinya dengan nikmat. Gerakan naik turunnya menjadi lebih cepat.


Pak Pramono mulai melihat perubahan pada wajah Dina. Pada awalnya, Dina bersetubuh dengan perasaan malu dan sakit hati, tapi kemudian perasaan itu berubah menjadi birahi. Pak Pram tahu Dina mulai menikmati dientoti oleh pria tua itu. Bukan maksud hati Dina untuk bersetubuh dengan Pak Pramono, tapi tubuh Dina mengkhianatinya karena lama kelamaan ibu muda yang cantik itu mulai merasa kenikmatan yang tiada tara walaupun awalnya dia dipaksa untuk melayani bandot tua ini.


Pak Pramono mulai menelusuri tubuh istri Anton dengan satu tangan dan akhirnya mencapai ujung kelentit kemaluan Dina. Saat Pak Pramono menggosok klitoris Dina, mata istri Anton itu terbelalak dan menatap Pak Pram tak percaya. Tapi Dina tetap meneruskan gerakannya, naik turun dan membiarkan kontol Pak Pram menusuk tiap jengkal ruas liang kemaluannya. Pak Pram tidak berhenti menggosok klitoris Dina. Tak lama kemudian, Pak Pramono merasakan kuku jari Dina menancap makin dalam di pundaknya. Gerakan Dina makin lama makin cepat hingga Pak Prampun tidak sanggup lagi merangsang klitoris Dina. Dina melepaskan lenguhan keras dan tubuhnya bergetar hebat sebelum akhirnya berhenti. Dia sudah mencapai klimaks.


Pak Pramono menunggu Dina sampai si cantik itu membuka matanya. Wajah Dina yang dilanda kepuasan memerah karena malu. Pak Pramono menganggukkan kepalanya sebagai tanda agar Dina meneruskan pekerjaannya. Maka wanita cantik itu kembali menggunakan memeknya untuk memeras penis Pak Pramono. Dina kembali menyetubuhi pria tua yang telah membuatnya orgasme. Tadi Pak Pramono memang ingin memuaskan Dina agar ibu muda yang cantik itu malu, tapi kini Pak Pramono hanya menginginkan kepuasannya saja. Pak Pramono menarik bokong Dina dan membimbing tubuhnya naik turun batang kemaluannya dengan lebih cepat. Dia mendorong tubuh Dina turun ke pangkuannya dengan kasar sementara pinggulnya bergerak sembari menggoyang si manis itu. Makin lama makin cepat. Pak Pramono makin tersengal-sengal karena keenakan.


Tak lama kemudian Pak Pramono orgasme. Dina duduk di pangkuan Pak Pramono saat pejuh pria tua itu membanjiri liang senggamanya. Dina merasa malu, dia merasa dirinya sangat rapuh karena menyerah pada Pak Pramono. Dina merasa diperkosa, tapi lebih malu lagi, karena Dina merasa dirinyapun telah mencapai titik klimaks yang belum pernah dirasakannya selama ini. Walaupun awalnya terpaksa, Dina kini juga merasa bersalah pada Anton. Dia merasa dirinya telah ternoda dan bersalah karena mencapai orgasme.


Dina duduk terdiam penuh rasa malu pada diri sendiri saat Pak Pramono mulai kembali sadar dari kenikmatan orgasmenya. Perempuan molek itu itu bisa merasakan penis Pak Pramono mulai mengecil dan keluar perlahan dari memeknya sementara dia duduk di paha sang pria tua. Dengan posisi kaki terbentang, Dina bisa merasakan pula cairan mani Pak Pramono meleleh keluar dari lubang memeknya. Dina tidak bergerak sama sekali karena takut pada pria tua yang bengis itu. Pak Pramono membuka matanya dan tersenyum puas. Dia mendorong tubuh Dina ke samping.


Mengambil nafas dalam-dalam, Pak Pramono berkata.

"Aku berterimakasih atas kerja samanya. Selama kamu terus menerus memberikan kepuasan padaku, maka aku jamin Pak Anton tidak akan pernah disentuh oleh pihak yang berwajib. Heh heh heh. Besok, datanglah ke Hotel Elok di Jalan Surabaya jam dua siang dan masuk ke kamar 224. Aku akan menunggu Mbak Dina untuk kesepakatan kita selanjutnya."


Dina hanya memandang diam ke arah Pak Pramono saat pimpinan Anton itu mengenakan baju kerjanya dan bangkit. Dina duduk di ranjang tanpa berkeinginan untuk menutupi ketelanjangannya. Untuk apa? Dia baru saja bersenggama dengan pria tua ini dan Pak Pramono sudah melepaskan pejuh di dalam rahimnya. Apa akan ada perbedaan berarti kalau sekarang Pak Pram melihatnya bugil?


Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Pak Pramono meletakkan amplop dan celana dalam milik Dina ke dalam tas kerja lalu berjalan pergi meninggalkan rumah Anton dan Dina.


###


Bagaimana nasib Dina, Alya dan Lidya selanjutnya?


Continue..

 

NEXT... Permainan terlarang 4. Eps: "Serangan Para Pria Tua. Bag. 2"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]