Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

Eps: Perawan & Pria Tua


Dina sangat kaget, ia tidak menyangka ternyata sejak awal suaminya berada di dalam ruangan tempat ia melayani nafsu dua bos tua yang penuh nafsu terkutuk. Ibu muda yang cantik itu sama sekali tak mengira, Pak Pramono tega melakukannya.


Anton ternyata berada di dalam ruangan kantor Pak Pramono sepanjang hari ini. Ia bisa mendengar dengan jelas dan melihat bayangan Dina dari balik kelambu tempatnya disembunyikan dengan badan terikat dan mulut tersumpal. Suami Dina itu bisa melihat tubuh sang istri dipermainkan dengan buas oleh dua lelaki tua yang haus seks, perasaan Anton hancur melihat istrinya menderita, apalagi semua ini terjadi karena ulahnya yang menggunakan aset kantor. Ia tak mengira sama sekali perbuatannya yang merugikan perusahaan tertangkap basah dan berdampak langsung pada kehancuran kehidupan rumah tangga Anton dan Dina.


Dina mengusap pipinya yang basah oleh air mata, ia tidak menduga akan bertemu Anton dalam situasi seperti ini. Entah kenapa, Dina merasa malu dan berusaha menutup ketelanjangannya dari tatapan nanar mata Anton yang menyala penuh kebencian. Kedua tangan Dina bergerak menutup dada dan selangkangannya, walaupun usaha itu tentunya tak berhasil. Sementara itu, dua sosok lain yang juga telanjang, Pak Bambang dan Pak Pramono tertawa melihat Anton yang terikat erat di kursi tak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan istrinya.


Sambil bermain-main, Pak Pram merenggut tangan Dina dan membimbingnya ke arah kemaluannya yang kembali menegang. Dengan gerakan berulang, didorongnya tangan Dina naik turun mengocok kemaluannya. Mulusnya tangan Dina membuat Pak Pramono kembali terangsang, penis itu membesar dan ukurannya membuat Anton terbelalak takjub. Dina menggelengkan kepala dan merintih memohon ampun dengan air mata menetes. Tidak ada seorangpun yang akan percaya, ia - seorang ibu muda yang alim - sedang mengocok kemaluan pria lain di hadapan suaminya. Tetesan air mata Dina deras menuruni wajah membasahi lantai. Hebatnya, setelah berkali-kali menegang hari ini, Pak Pram tidak menunjukkan tanda-tanda kecapaian, malah kemaluannya kembali menegang menantang usai dikocok perlahan oleh jari-jari lentik Dina.


Pak Pramono menjambak rambut Dina agar kepala perempuan jelita itu tak bergerak kemana-mana. Dengan nakal Pak Pram mengoleskan ujung gundul kemaluannya ke mulut Dina dan menggesekkannya di pipi, mata dan hidung istri Anton itu. Dina tahu apa maksud Pak Pram, dengan terpaksa ibu muda dua anak itu membuka mulut. Tanpa menunggu aba-aba, Pak Pram langsung melesakkan penisnya yang besar menjejal masuk ke mulut Dina. Anton terbelalak melihat kemaluan Pak Pram yang besar dan panjang bisa masuk ke mulut Dina, ia bisa membayangkan penderitaan sang istri yang harus membuka mulutnya lebar-lebar agar benda itu bisa masuk.


Ada sensasi aneh melihat seorang suami berada dalam posisi tak berdaya menyaksikan istrinya sibuk menyepong lelaki lain tepat di depan matanya, apalagi sang istri adalah seorang wanita molek yang sangat cantik dan seksi seperti Dina. Sensasi itu membuat Pak Pramono mencapai klimaks dengan sangat cepat. Hanya beberapa menit disepong Dina, Pak Pram menyemprotkan pejuhnya membanjiri mulut istri Anton. Dina terbatuk-batuk dan berusaha memuntahkan kembali sperma Pak Pram yang dijejalkan ke tenggorokannya, untunglah Pak Pram segera menarik batang kemaluannya sehingga wanita cantik itu tidak sampai kehabisan nafas. Karena Pak Pramono menarik penisnya dengan terburu, air maninya menyemprot juga ke wajah Dina.


Dengan penuh kemenangan, Pak Pramono menyorongkan wajah Dina yang belepotan air mani ke arah sang suami.


"Lihat ini baik-baik, Pak Anton. Lain kali anda berbuat kesalahan, yakinkan diri anda untuk menebus kesalahan itu sebelum sesuatu seperti ini terjadi."


Anton menatap jijik wajah istrinya yang belepotan sperma lelaki lain, ia menatap geram ke arah Pak Pramono. Dina yang merasa kotor menunduk malu tak berani menatap mata Anton sementara pejuh bercampur air mata menetes dari pipi turun ke lantai.


Sambil duduk di kursi, Pak Pramono dengan santai mengelus-elus tubuh Dina yang duduk lemas di lantai. Wanita cantik itu bahkan tak berani menatap mata suaminya yang terikat erat, ia tahu nasib dan masa depan mereka berada di tangan Pak Pramono dan rekannya yang bernama Bambang.


Pak Pram melirik ke arah Pak Bambang yang ternyata sudah kembali menyiapkan kemaluannya. Dengan senyum menghina Pak Pram menatap Anton yang menatap tak percaya gerakan Pak Bambang menarik Dina dan membaringkannya di lantai. Tubuh gemuk Pak Bambang masuk di antara kaki jenjang Dina yang putih mulus. Dengan main-main pria tua itu menepuk penisnya yang besar di selangkangan sang ibu muda.


"Aku tidak akan menjamin istrimu bisa menikmati penisku ini, Pak Anton. Tapi aku bisa menjamin kalau AKU pasti menikmati detik demi detik mencicipi tubuh seksi istrimu." Kata kakek tua itu.


Anton meraung namun karena mulutnya tersumpal kain, tak ada suara keluar dari mulutnya. Dina menggelengkan kepala karena kelelahan, ia tidak mengira Pak Bambang akan menyetubuhinya lagi dan kali ini, langsung di hadapan suaminya!


"Siap Ibu Dina? Mudah-mudahan yang kali ini bisa membuatmu hamil ya." Pak Bambang terkekeh lagi. Ia menarik pinggulnya ke belakang dan dengan kecepatan tinggi menghunjamkan penisnya masuk ke dalam kemaluan Dina.


"Ahhhhh!! Sakit!!" jerit Dina sambil memejamkan mata, air mata menetes dari ujung pelupuknya. Bermain cinta tanpa foreplay sangat menyakitkan bagi seorang wanita, karena liang rahimnya belum benar-benar basah oleh cairan pelumas yang keluar dari dinding vagina. Kali ini Pak Bambang menusukkan penisnya di saat Dina belum siap, membuat penis yang lebih besar dari milik Anton itu meraja di liang kemaluan sang ibu muda. Dina menjerit kesakitan tiap kali penis Pak Bambang menusuk masuk ke dalam memeknya.


Anton tidak bisa mempercayai pemandangan yang kemudian berlangsung di depan matanya. Selama hampir seperempat jam istrinya yang cantik jelita disetubuhi oleh monster tua bertubuh gemuk menjijikkan. Lebih pedih lagi bagi Anton, istrinya itu berulang kali mengejang dan berteriak-teriak kesakitan tiap kali Pak Bambang melesakkan kontolnya ke dalam. Karena tak tahan dengan sodokan demi sodokan penis Pak Bambang, Dina akhirnya mengangkat kakinya dan menggunakan kaki jenjang itu untuk memeluk pinggang Pak Bambang yang lebar sementara tangannya mengait di leher. Istri Anton yang merem melek akhirnya mencoba menikmati permainan ini, bahkan dengan berani Dina menggoyang pinggulnya untuk membalas sodokan penis sang kakek tua.


"Ehhhmmmm... a-aku sudah mau keluaaar..." begitu nikmatnya Dina dientoti Pak Bambang sampai-sampai wanita cantik yang tadinya alim itu meracau tak jelas.

"Auuuhh... ehmm... jangaaan... teruuuus... sakiit... ugh... ahhh... ahh..."


Akhirnya Dina tak kuat lagi menahan nafsu birahinya yang sudah memuncak, tubuhnya langsung mengejang dan tak lama kemudian liang rahimnya dibanjiri oleh cairan cinta. Pak Bambang menyusul Dina tak lama kemudian, tubuhnya menegang, lalu bergetar, lalu tanpa bisa ditahan, air mani menyemprot tanpa henti di dalam memek Dina yang masih dijejali kemaluannya. Air mani mengalir dari sela-sela penis yang melesak di dalam memek Dina dan menetes keluar.


"Ha ha ha. Lihat ini, Pram. Gadis kecilmu ini benar-benar pelacur, mudah sekali dia dibikin orgasme. Berani taruhan, pasti kontol suaminya tidak sanggup memuaskannya seperti ini." kata Pak Bambang.


"Pak Anton! Istrimu jago ngentot nih, aku puas sekali. Mudah-mudahan ada spermaku yang bisa menembus ke dalam dan menghamilinya. Pengen lihat aku, kalau bapaknya sejelek aku, ibunya secantik istrimu, anaknya jadi kayak apa..."


Pak Pram melangkah dengan penuh percaya diri menghampiri suami Dina yang terikat tak berdaya di kursi, penisnya masih berdiri tegak seakan menantang kejantanan Anton yang tak mampu berbuat apa-apa menyaksikan istrinya digumuli dua orang bejat.


"Istrimu enak sekali dientoti, Pak Anton. Susunya empuk, memeknya rapet, bibirnya mungil, bokongnya bulet, pokoknya enak sekali dientoti. Mudah-mudahan kami tidak merusak memeknya, karena penis kami ukurannya jauh lebih besar daripada milikmu yang sebesar pensil itu. Memek Ibu Dina masih terhitung rapat untuk kami berdua, tapi saya tidak yakin ukuran penis Pak Anton akan sanggup memuaskan Ibu Dina. Apalagi Ibu Dina sudah merasakan nikmatnya dientoti dua laki-laki sejati."


Pak Bambang tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan Pak Pramono yang menyakitkan bagi Anton itu. Di samping Pak Bambang, Dina terbaring lemas dengan memek yang masih terus mengeluarkan sperma tumpahan sang kakek bejat. Berkali-kali ibu muda itu terbatuk sambil mengeluarkan air mani Pak Pramono yang masih tersisa di mulutnya.


"Lihat keadaan istrimu sekarang, Pak Anton. Bisa dibayangkan berapa banyak pejuh yang sudah kami tumpahkan dalam rahim Ibu Dina. Mungkin saja kelak Ibu Dina akan melahirkan anak kembar, yang satu mirip Pak Bambang dan yang satu lagi mirip saya."


Kembali Pak Bambang tertawa, Pak Pramono amat pintar memanipulasi kata-kata untuk mengumbar emosi Anton.


"Untuk mengakhiri semua penderitaan ini..." kali ini Pak Pram tidak main-main, ia mendekat ke arah Anton, menatapnya tajam dan mencengkeram kedua lengannya dengan sekuat tenaga, "aku sangat berharap Pak Anton mau bekerja sama untuk terakhir kalinya dengan kami."


Keringat Anton mengucur deras, apalagi yang diinginkan bosnya yang kejam ini? Dia sudah menghancurkan hidupnya, hidup Dina, hidup keluarganya. Apalagi yang diinginkannya?


"Pak Bambang adalah orang yang sangat kaya dan sangat mampu membiayai kehidupan Ibu Dina selanjutnya, termasuk biaya untuk menyekolahkan kedua anak kalian dan biaya hidupmu yang menyedihkan itu. Kami akan berbaik hati menyediakan sebuah rumah di kota lain dan modal untuk usaha bagi Pak Anton, sekaligus menjamin kehidupan kedua anak kalian, dengan syarat... Pak Anton bersedia menceraikan Ibu Dina dan menyerahkan kepemilikan Ibu Dina pada Pak Bambang. Itu artinya, Pak Anton tidak boleh bertemu lagi dengan Ibu Dina... selamanya."


Mata Anton dan Dina terbelalak tak percaya, mereka tidak mempercayai pendengaran mereka, benarkah Pak Pram mengajukan proposal pada Anton untuk menjual Dina? Anton menggeram marah dan melompat-lompat gemas. Pria itu meraung-raung dan menggeram penuh emosi, tapi dalam keadaan terikat ia tidak bisa berbuat banyak, air matanya menetes membanjiri wajah, ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, semua ini terjadi karena kesalahannya. Ia harus tunduk pada indecent proposal yang diajukan oleh bosnya ini kalau ingin selamat.


Dina menangis tersedu-sedu, ia terlalu lemah untuk menolong Anton, wajahnya menunduk ke bawah dengan pasrah. Yang akan terjadi terjadilah.


"Aku tidak tertarik menikahi wanita ini." tiba-tiba saja Pak Bambang berucap.

"Akan tetapi, aku punya seorang anak yang usianya kurang lebih sama dengan Pak Anton, bedanya kalau Pak Anton lulusan universitas terkenal, anakku itu lulusan SLB. Sangat tidak membanggakan seorang konglomerat punya anak idiot, tapi akan sangat membanggakan memiliki cucu cantik seandainya anakku itu menikah dengan wanita secantik Dina."


Kali ini giliran Pak Pramono yang menganga heran. Ia memang sudah tahu kalau Pak Bambang memiliki seorang anak idiot yang disembunyikan di sebuah villa jauh dari kota besar. Tapi ia tidak menyangka pria tua ini berniat menikahkan Dina dengan anaknya itu, benar-benar tindakan yang di luar perkiraannya.


Mendengar kata demi kata yang diucapkan Pak Bambang, mata Dina menjadi berkunang-kunang, pandangannya pun mengabur. Wanita cantik itu ambruk ke lantai dan pingsan.


Kisah penderitaan Dina belumlah usai, justru baru akan dimulai.


###


Ruang Dokter Wibowo menjadi sepi ketika sang dokter berusia lanjut itu menerangkan dampak kecelakaan yang menimpa Hendra, suami Alya.


"Kecelakaan fatal yang dialami oleh Pak Hendra mengakibatkan beliau menderita trauma atau benturan di kepala dan akibatnya terjadi kerusakan syaraf motorik pada jaringan fungsi otaknya. Sejauh pengamatan kami hingga saat ini, mulai dari bagian bawah perut hingga ke ujung kaki syaraf beliau tidak bisa berfungsi secara normal dan mengakibatkan terjadinya kelumpuhan. Saluran pengeluaran beliau sejauh ini tidak mengalami masalah, tapi tidak ada jaminan beliau akan mampu melakukan kegiatan-kegiatan lain seperti berjalan ataupun berlari secara normal, termasuk melakukan hubungan suami istri. Walaupun kelumpuhan semacam ini tidak permanen tapi bisa dikatakan kelumpuhan Pak Hendra adalah kelumpuhan jangka panjang." Kata Dokter Wibowo.


"Ja-jadi suami saya lumpuh, Dokter?" Seluruh tubuh Alya bergetar dan airmatanya tidak berhenti meleleh membasahi pipi. Lidya memeluk kakaknya yang sedang tertimpa musibah dan berusaha menenangkannya agar tetap tabah. Tubuh Alya bergetar menggigil karena perasaannya panik dan kalut, Lidya hanya bisa berdoa agar semua masalah yang menimpa keluarga mereka segera bisa terlewati.


"Lumpuh dari bagian perut ke bawah, beliau tidak akan bisa menggunakan kedua kaki dan tidak akan lagi mampu melakukan hubungan suami istri, walaupun seperti yang saya katakan tadi, tidak ada masalah dengan saluran pengeluarannya." Lanjut Dokter.


"Apakah kelumpuhan itu bisa sembuh nantinya, Dokter?" tanya Alya lagi.


Sang dokter menggeleng,

"belum bisa dipastikan, Bu Hendra. Dalam beberapa kasus, kelumpuhan semacam ini memang bisa sembuh karena sifatnya tidak permanen dan hanya menimpa bagian tubuh tertentu saja, walaupun tidak bisa dipungkiri kemungkinan Pak Hendra bisa kembali pulih seperti sediakala dalam waktu singkat mungkin hanya hanya sekitar 5 sampai 6%, itupun dalam jangka waktu yang sangat panjang bahkan mungkin hingga menahun, apalagi semakin tua umur seorang penderita, makin berkurang pula kemampuan syarafnya bisa pulih. Sangat tipis kemungkinan Pak Hendra bisa sembuh total."


Ruangan Dokter Wibowo yang berada di RS ***** menjadi sangat panas, ac memang sudah menyala, tapi perasaan orang-orang yang berada di dalam ruangan itu semua sangat kacau balau. Alya, Lidya dan Anissa sedang berada di dalam ruang periksa dokter sementara Andi, Dodit dan Pak Bejo menanti di luar. Opi tidak ikut menemani mereka dan dititipkan pada Bu Bejo di rumah.


"Berapa lama kakak saya harus menjalani rawat inap, Pak Dokter?" tanya Anissa, seperti halnya Alya, gadis cantik itu juga menangis sesunggukan meratapi nasib kakak kandungnya yang malang.


"Paling cepat sekitar dua minggu dan paling lambat mungkin satu bulan, tergantung dari kondisi Pak Hendra sendiri. Saat ini beliau sangat lemah dan tidak bisa melakukan aktivitas apapun, walaupun bagian perut ke atas bisa dibilang tidak mengalami cidera serius." Jawab Dokter.


"Seandainya suami saya tidak mengalami masalah dengan saluran pengeluaran, kenapa dia tidak bisa melakukan kegiatan suami istri, dok?" tanya Alya lagi.


"Sayangnya, kecelakaan itu juga membuat beliau mengalami impotensi. Saya masih belum bisa memastikan apakah impotensi Pak Hendra juga bersifat temporer atau permanen. Hasil testnya baru bisa diperoleh dalam beberapa hari ke depan." Jawab Dokter Wibowo.


Air mata Alya kembali meleleh, tapi ia mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada dokter yang telah merawat suaminya. Ketiga wanita cantik itupun meninggalkan ruang dokter.


"Mbak Alya tidak apa-apa, kan?" tanya Lidya khawatir melihat kakaknya.

"Tidak apa-apa. Aku bersyukur Mas Hendra selamat dari kecelakaan itu." kata Alya kemudian. "Aku tidak peduli dia cacat atau lumpuh, aku akan selalu berada disisinya, aku sangat mencintainya. Di saat sulit seperti inilah, aku wajib menemaninya."


Anissa dan Lidya saling berpandangan dan kagum pada Alya yang sedang berusaha kuat menabahkan diri. Tapi sesungguhnya, kisah penderitaan Alya belumlah usai, justru baru akan dimulai.


###


Annisa memperhatikan Alya yang masih duduk di samping ranjang Hendra dengan setia. Tidak mudah mengajak Mbak Alya pulang walaupun mungkin kakak iparnya itu sudah sangat kelelahan. Mbak Lidya dan suaminya sudah pulang dan Mbak Dina belum juga menunjukkan batang hidungnya sedari tadi. Harus ada seseorang yang menemani Mbak Alya seandainya dia butuh makan atau mengurus administrasi rumah sakit yang belum selesai. Anis segera mendiskusikan masalah itu dengan Dodit dan Pak Bejo.


"Begini saja, Non." Usul Pak Bejo. "Karena Mbak Alya belum mau diajak pulang, sebaiknya salah satu dari saya atau Mas Dodit mengantar dulu Non Anis pulang karena hari sudah mulai gelap. Nanti kalau Mbak Alya sudah merasa capek dan ingin pulang, yang tinggal di sini bisa mengantar pulang setiap saat. Kalaupun Mbak Alya mau menginap di sini, lebih baik ada seseorang yang menemani."


Annisa menganggukkan kepala,

"wah, kalau begitu biar Mas Dodit saja yang tinggal di sini, kalau-kalau nanti Mbak Alya mau cari makan atau mengurus surat-surat, Mas Dodit bisa lebih cepat membantu."

"Saya juga tidak apa-apa kok, Mbak." Kata Pak Bejo.

"Terima kasih, Pak, tapi sepertinya kami sudah terlalu banyak ngrepotin Pak Bejo." Kata Dodit. "Kamu pulang dulu aja ya, say. Aku tinggal di sini sama Mbak Alya."


Annisa mengangguk sementara Pak Bejo tersenyum malu-malu.

"Wah, Mas Dodit ini bisa aja, saya gak merasa direpotkan kok Mas, kan keluarga Mas Hendra sudah saya anggap keluarga sendiri."


"Iya sih, tapi siapa tahu Bu Bejo juga ada urusan yang gak bisa ditinggal? Kan kasihan anak-anak Pak Bejo kalau di rumah gak ada yang ngurus? Lagipula mobil yang dibawa Pak Bejo kan mobil pinjaman dari saudara, pokoknya, kami sekeluarga berterimakasih banyak sama Pak Bejo." Kata Dodit lagi, sambil tersenyum dia mengambil dua lembar lima puluh ribuan berwarna biru dan memberikannya pada Pak Bejo saat bersalaman.

"Ini Pak, buat beli rokok."


"Lho? Mas Dodit gimana sih? Gak usah, Mas! Beneran, gak usah!" Pak Bejo menggeleng kepala sambil berusaha mengembalikan uang Dodit, pria tua itu memang jagonya sandiwara, pura-pura nolak padahal pengen. Pemuda baik hati itu tetap memaksa sambil memasukkan uang ke dalam saku baju Pak Bejo.


"Cuma seadanya kok, Pak. Buat beli rokok atau ganti bensin nganterin Non Anis."

"Iya, Pak. Gak apa-apa, diambil aja." Rayu Anissa sambil tersenyum manis.


Pak Bejo yang pintar bersandiwara pun pura-pura luluh dan menerima uang pemberian Dodit. "Wah, sebenarnya saya melakukan ini semua tanpa pamrih apa-apa, Mas Dodit. Beneran. Keluarga saya sudah sangat sering ditolong Mas Hendra dan Mbak Alya, ini kesempatan saya untuk membalas kebaikan hati mereka. Terima kasih banyak ya, Mas Dodit. Non Anis."


Dodit dan Anissa mengangguk dan tersenyum ramah. Setelah Anissa dan Dodit berbincang-bincang berdua, akhirnya mereka menemui Pak Bejo di teras rumah sakit.


"Ayo, Pak. Kita pulang sekarang." Ajak Anis, gadis itu melambaikan tangan pada Dodit.

"Aku pulang dulu ya, say. Titip Mbak Alya sama Mas Hendra."

"Iya. Hati-hati di jalan." Balas Dodit.

"Mari, Mas Dodit. Saya duluan." Ujar Bejo.

"Iya, Pak Bejo. Saya titip Anissa ya."

"Pokoknya beres, Mas." Pak Bejo menyeringai aneh sambil meninggalkan Dodit di tangga rumah sakit dan mengiringi kepergian Anissa menuju mobil. Dodit menatap kepergian orang tua itu dengan perasaan yang tidak enak, tapi dia percaya penuh pada tetangga Mas Hendra itu karena Pak Bejo sekeluarga sudah seperti saudara sendiri. Kenapa orang tua itu menyeringai aneh? Dodit menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan masuk kembali ke gedung utama rumah sakit.


Sementara itu, kemaluan Pak Bejo bergerak menegang karena gembira. Kesempatan berduaan dengan Anissa telah datang. Pantat bulat si cantik itu akan jadi miliknya.


Anissa tidak sadar, ia kini sedang berada dalam ancaman hebat lelaki yang sudah memperkosa kakak iparnya. Anissa sudah berada dalam genggaman Pak Bejo Suharso!


###


Nada tunggu.


Tidak ada yang mengangkat, Lidya menutup gagang telpon.


Lidya bertanya-tanya kemana Mbak Dina sebenarnya. Sudah sejak pagi dia tidak bisa menghubungi HP dan telepon rumahnya. Mas Anton juga sama saja, tidak bisa dihubungi. Kemana mereka pergi? Mas Andi sudah mencoba menjemput tapi ternyata rumah mereka kosong dan terkunci rapat, anak-anak juga tidak terlihat berada di rumah. Padahal ada musibah yang menimpa salah satu anggota keluarga, tapi Mbak Dina gagal dihubungi. Kasihan Mbak Alya, dia amat butuh dukungan dari keluarga. Kemana Mbak Dina sebenarnya?


Usai gagal mencoba menghubungi Mbak Dina, Lidya melangkah masuk ke dapur untuk menghangatkan lauk makan malam. Pikiran wanita muda itu sangat kalut, ia sama sekali tidak menyangka, di saat dia mengalami masalah berat ternyata kesulitan yang tak kalah hebatnya dialami oleh Mbak Alya. Apa sebenarnya yang terjadi pada keluarga mereka? Lidya merasa beruntung suaminya sudah pulang, kedatangan Andi membuat Pak Hasan tidak berani macam-macam terhadapnya, walau sekali dua kali Pak Hasan dengan nakal menepuk pantat atau mencolek buah dadanya.


Lidya mulai mengambil bahan makanan dari dalam lemari es dan menyusunnya dengan rapi di tempat yang sudah ia sediakan. Ketika sedang sibuk menyiapkan bahan masakan itulah tiba-tiba saja ada sepasang tangan perkasa memeluk tubuh Lidya dengan sangat kuat. Wanita cantik itu tidak bisa bergerak dan pucat pasi. Mulut yang berbau minuman keras, tangan yang nakal menggerayang, tubuh yang masih tegap dan kasar. Orang ini jelas Pak Hasan, Andi akan memperlakukannya dengan lebih lembut.


"Pak! Jangan ah! Mas Andi kan ada di atas! Dia sedang mandi... bagaimana kalau dia nanti..."


"Memangnya kenapa kalau Andi sedang mandi di kamar atas? Kita pasti akan mendengar suara langkah kakinya kalau dia turun lewat tangga. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan, Nduk. Sejak anakku datang, kamu selalu menghindari aku dan tidak pernah lagi mau berdua denganku." Desis Pak Hasan menahan emosi.

"Aku kangen sekali dengan tubuhmu yang molek ini, aku ingin tidur denganmu."

"A-aku..." Lidya kebingungan mencari kata-kata yang tepat.


Kepanikan Lidya dimanfaatkan dengan baik oleh Pak Hasan. Pria tua itu menggunakan kedua tangannya untuk menjelajah keseksian tubuh sang menantu. Tangan kirinya masuk ke dalam celana pendek Lidya dan meremas-remas pantatnya yang bulat, sementara tangan kanannya memainkan buah dada Lidya yang ranum. Pantat Lidya putih mulus dan sangat halus tanpa cacat, sangat merangsang nafsu Pak Hasan. Sedangkan buah dada menantu Pak Hasan itu tidak perlu lagi diceritakan, bulat besar menggiurkan.


"A-aku tidak mau melakukan ini lagi ..." Lidya mencoba meronta dan melepaskan diri dari pelukan ayah mertuanya, sia-sia saja karena pria tua itu jauh lebih kuat.

"Lepaskan aku... Mas Andi..."


"Bayangkan apa yang akan dilakukan oleh anakku itu seandainya dia turun ke bawah dan melihat kita sedang bermesraan seperti ini, hmm? Ayah kandungnya sedang bermain-main dengan pantat mulus dan payudara molek istrinya." Pak Hasan membisikkan kata-kata yang membuat Lidya urung melakukan perlawanan.


"Aku hanya ingin menikmati keindahan tubuhmu, Nduk. Bukan hal yang aneh kan? Kita sudah berulang kali bermain cinta dan..."


"Aku tidak ingin melakukan ini lagi!" Lidya mencoba tegas.


Karena jengkel, Pak Hasan menggeram dan mendorong tubuh menantunya sampai menempel ke tembok. Karena posisi tubuhnya yang terjebak pelukan Pak Hasan dari belakang, Lidya tidak mampu melawan, dia terdorong ke depan sampai menempel ke tembok. Untunglah dorongan Pak Hasan tidak cukup keras sehingga menyakiti sang menantu. Lidya menjerit kecil tapi karena takut Andi akan mendengar suaranya, si cantik itu menutup mulutnya sendiri.


Dengan terengah-engah Pak Hasan menahan agar tubuh Lidya tetap menempel di tembok dapur, pria tua berbisik perlahan ke telinga Lidya.


"Aku sudah berusaha ramah padamu, Nduk. Tapi kalau kau mengajak main kasar, aku tidak akan segan-segan meladenimu. Aku ingin kau mendengarkan kata-kataku karena aku tidak akan mengulanginya lagi... paham?"


Lidya mengangguk dengan ketakutan.


"Aku ingin menidurimu lagi. Aku tidak peduli Andi sedang berada di rumah atau pergi bekerja, tapi saat aku ingin memasukkan kontolku ke dalam memekmu yang wangi, maka kau wajib membuka lebar-lebar kakimu agar aku bisa menikmatinya. Aku tidak suka perlawananmu hari ini, dan sebagai hukumannya, selama seminggu ini aku akan memberikan perintah-perintah yang harus kau turuti. Kalau tidak mau melakukannya, aku akan tetap menjepitmu dalam posisi ini sampai Andi turun ke bawah." Ancam Pak Hasan.


"Pendek kata, aku ingin kau menjadi budakku seminggu ke depan, bagaimana?"


Lidya menggeleng kepala,

"A-aku tidak ingin melakukan ini lagi... ini salah... ini..."


Terdengar langkah kaki di lorong kamar atas, sepertinya Andi sudah bersiap turun ke bawah menyusul Pak Hasan dan Lidya. Keringat istri setia itu menetes sebesar jagung, apa yang harus dilakukannya? Ia tidak mau lagi melayani kebejatan sang mertua, tapi kalau Mas Andi sampai tahu, seluruh dunia mereka pasti akan hancur berantakan. Detik demi detik berlalu, terdengar langkah kaki Andi turun melalui tangga, Lidya makin panik, ia berusaha meronta tapi gagal karena jepitan kunci Pak Hasan sangat kuat. Dengan hati remuk redam, akhirnya Lidya mengangguk pasrah.


"Baiklah..." bisik Lidya lemah.

"Baiklah apa?" Pak Hasan meringis keji penuh kemenangan sambil mengulum-ngulum daun telinga Lidya.


"Baiklah kau akan menjadi budakku atau baiklah kau akan nekat membiarkan Andi melihat kita sedang bermesraan?"


"Baiklah aku bersedia menjadi budak bapak..." desahan yang keluar dari mulut Lidya terdengar panjang dan pasrah.


Kisah penderitaan Lidya belumlah usai, justru baru akan dimulai.


###


Mobil yang dikendarai Pak Bejo berkelak-kelok melalui jalan yang belum dikenal Anissa, karena memang belum mahir menyetir mobil, Anissa kurang begitu mengenal wilayah dan tidak hapal jalan-jalan kecil yang dilalui Pak Bejo. Tapi kali ini Pak Bejo melalui jalan yang tidak biasanya dilalui, berkelak-kelok melalui jalan sempit dan melewati daerah yang sepi hunian. Kendaraan yang berpapasan dengan mobil mereka bisa dihitung dengan jari.


Rumah sakit tempat Mas Hendra dirawat dan rumah tempat tinggal Mbak Alya memang cukup jauh, tapi jalan yang dilalui Pak Bejo ini seakan-akan membuat perjalanan mereka pulang menjadi lebih jauh dan lama. Karena hari mulai gelap, Anis memberanikan diri bertanya pada Pak Bejo.


"Pak, kita lewat jalan apa sih? Kok kayaknya malah jadi lebih jauh?" tanya Anissa.

"Oh, maaf. Saya belum menjelaskan ya? Kita mampir sebentar ke rumah adik saya, Non Anis. Kebetulan tadi dia sms katanya ada titipan untuk istri saya."

"Oh gitu. Sms yang masuk saat kita keluar dari rumah sakit ya?"

"Iya. Nggak apa-apa kan, mampir sebentar?"

"Nggak apa-apa kok, tapi sebentar saja ya, Pak."

"Iya."


Walaupun jengkel karena tidak diberitahu sebelumnya kalau Pak Bejo akan mampir ke tempat lain, Anissa diam saja. Perjalanan berlanjut tanpa ada percakapan lagi, Anissa terus melirik ke arah jam tangannya karena walaupun hari semakin larut, tidak ada tanda-tanda mobil akan berhenti.


Tiba-tiba saja mobil berhenti mendadak di tengah kawasan perbukitan yang dipenuhi pohon rindang dan amat sepi, mereka jauh dari jalan utama dan sudah cukup jauh untuk kembali ke rumah sakit. Annisa mulai khawatir, walaupun ia sangat percaya pada Pak Bejo tapi karena hari sudah gelap, Anissa mulai berpikiran macam-macam.


"Kok berhenti di sini, Pak?" Anissa makin ragu.

"Pak Bejo yakin ini jalan pulang ke rumah Mbak Alya?"


Ada sesuatu yang ganjil pada kelakuan Pak Bejo sore ini dan makin lama kecurigaan Anissa makin besar, walaupun masih muda, Anis bukanlah gadis bodoh. Rute pulang yang tidak seperti biasa, alasan mampir di rumah saudara, berhenti mendadak di tengah jalan, situasinya makin aneh. Anissa memeluk dirinya sendiri yang menggigil dan mulai membayangkan hal yang tidak baik.


"Aduh, saya minta maaf, Non Anis. Tiba-tiba saja saya ingin buang air kecil, sebentar saja ya Non..." rayu Pak Bejo. Anissa tidak bisa melihat senyum licik tersungging di bibir Pak Bejo karena gelapnya malam.


"Iya deh, tapi jangan lama-lama ya Pak, saya takut." Anissa tersenyum, ia mencoba menenangkan dirinya sendiri dan meyakinkan bahwa Pak Bejo bukanlah orang jahat.


Pria tua itu meninggalkan kursinya dan melangkah keluar mobil sambil menahan tawa iblisnya.


###


Bagaimana nasib mereka selanjutnya?


Continue..


NEXT... Permainan terlarang 12. Eps: "Perawan & Pria Tua. Bag,2"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]