Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

Eps: Dalam Cengkraman Pria Tua


Lidya menguap. Wanita cantik itu membolak-balik halaman tabloid wanita yang sedang dipegangnya dengan bosan. Walaupun sudah berusaha membaca dan konsentrasi, tapi susah sekali memahami apa yang ditulis di tabloid itu karena dia tidak bisa fokus.


Benaknya masih dibebani perkosaan yang dilakukan Pak Hasan. Dia sangat trauma dan ketakutan, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, dia tidak bisa menceritakan petaka yang menimpanya baik pada suaminya sendiri ataupun pada pihak yang berwajib, dia takut kalau dia membeberkan semuanya, situasinya akan lebih buruk lagi.


Semalam suntuk Lidya berusaha tidur tapi tak kunjung bisa memejamkan mata, dia takut sewaktu-waktu Pak Hasan akan datang ke kamar dan menyetubuhinya lagi. Selangkangannya masih terasa sakit setelah mendapatkan perlakuan kasar kemarin.


Dasar panjang umur, pria tua busuk itu tiba-tiba saja muncul dan berdiri di samping Lidya.


"Aku pengen jalan-jalan ke mall, Nduk."


Lidya meneguk ludah, dia diam saja dan pura-pura tidak mendengar. Biasanya Pak Hasan akan pergi selama berjam-jam dan Lidya terbebas darinya. Pria tua itu biasanya pergi begitu saja tanpa pamit, entah kenapa hari ini dia pamit pada Lidya. Karena perasaannya masih kacau balau, Lidya diam membisu.


Tidak mendapat tanggapan dari Lidya membuat marah Pak Hasan. Dengan geram Pak Hasan mendekati menantunya yang sedang membaca. Tabloid wanita yang sedang dipegang Lidya disambar Pak Hasan dengan kasar sampai jatuh berserakan di lantai.


"Kamu dengar tidak? Aku mau mengajak kamu jalan-jalan ke mall!"


Ajakan Pak Hasan pada Lidya itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Ke mall? Apa lagi yang diinginkan kali ini?


"Ke mall?" tanya Lidya sambil merapikan rambutnya yang jatuh ke kening. "Ngapain kita jalan-jalan ke mall? Kebutuhan dapur dan yang lain masih ada. Besok lusa Mas Andi juga sudah pulang... kita tidak perlu..."


Wajah Pak Hasan memerah menandakan kemarahannya makin lama makin memuncak.


Pak Hasan menarik tubuh Lidya dan memeluknya dengan kasar. "Justru karena besok lusa Andi sudah pulang, aku mau menikmati saat-saat terakhir bersamamu, Nduk! Aku tidak ingin menyakitimu lagi, jadi sebaiknya kau turuti semua permintaanku tanpa mengeluh, atau aku akan berubah pikiran! Hari ini kita mulai dengan jalan-jalan ke mall karena aku pengen memamerkan menantuku yang cantik jelita pada orang-orang sekota."


Pak Hasan mencium bibir Lidya dengan kasar bahkan menggigitnya sampai menantunya itu kesakitan. Akhirnya setelah Lidya meronta-ronta, Pak Hasan melepaskannya. "Aku juga tidak suka kamu bertanya padaku dengan sinis! Lain kali pikir dulu sebelum mengajukan pertanyaan!"


Lidya yang sudah lepas dari pelukan Pak Hasan meringkuk di sofa dan menundukkan kepala, dia sangat ketakutan sampai-sampai tubuhnya bergetar. "Aku minta ma-..."


"Maaf? Sudah seharusnya!" dengan sombong Pak Hasan memalingkan muka dan duduk di sofa. "Ganti pakaianmu, dandan yang cantik! Aku menunggu di sini, jangan lupa bawa uang yang banyak dan kartu kredit. Siapa tahu aku ingin belanja-belanja."


Lidya melangkah lemas ke kamar atas, entah apa lagi maksud Pak Hasan.


###


Paidi Sutrisno bukanlah orang yang beruntung. Di usianya yang sudah mencapai angka 55, pria tua ini masih hidup berkekurangan. Masa mudanya yang suram membuatnya sering keluar masuk penjara, dia bahkan sangat terkenal sebagai preman pasar dengan sebutan Paidi Tatto, tentunya karena tatto gambar wanita bugil yang menghias sebagian besar punggungnya. Karena kehidupannya yang keras, Paidi diceraikan oleh istrinya dan bekerja sebagai penjaga pintu sarang PSK. Hanya sebentar bekerja di sana, Paidi terlibat perkelahian dengan seorang pelanggan. Hal ini menyebabkan Paidi kembali masuk penjara.


Saat terakhir di penjara, Paidi berkenalan dengan seorang mantan dosen yang berasal dari keluarga baik-baik dan dipenjara entah karena masalah apa. Pria itu memberikan ilmu pengetahuan dan mengajarkan banyak hal pada Paidi. Berkat orang ini pulalah Paidi berani menghapus semua tatto di tubuhnya walaupun akhirnya meninggalkan bekas luka permanen di kulit punggungnya. Punggung Paidi yang tadinya bergambar seorang wanita cantik berubah menjadi kulit carut marut. Kemahiran Paidi berlipat ganda berkat pengetahuan yang diberikan oleh pria itu.


Setelah keluar bui untuk yang terakhir kalinya di usia 45, Paidi ternyata tak kunjung bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Entah karena sejarahnya yang buruk atau karena pengaruh krisis ekonomi. Di jaman seperti sekarang ini, sangat susah mencari pekerjaan yang halal dengan mudah. Apalagi Paidi tidak memiliki modal besar dan wajahpun tidak menunjang, codet besar bekas luka menghias wajahnya sehingga banyak perusahaan menolak memperkerjakannya.


Akhirnya, Paidi mengerjakan apa yang bisa dia kerjakan. Paidi memperoleh modal kecil dari temannya dan berjualan bakso keliling. Paidi Tatto kini berubah menjadi Paidi tukang bakso.


Tubuh Paidi yang dulu gagah dan tegap kini kurus kering dan hitam legam terbakar matahari. Wajahnya yang dulu bersih kini menjadi kurus dan kasar, kulitnya tipis dan tulangnya terlihat menonjol di seluruh badan. Paidi sadar masa-masa keemasannya sebagai preman sudah sirna dan kini dia berniat melakukan yang terbaik yang dia bisa untuk membalas kebaikan sahabat yang telah memberinya pengetahuan dan modal berjualan bakso. Demi mencari nasi untuk sekedar mengisi perut, Paidi menjalankan pekerjaannya tanpa mengeluh. Tapi, sesungguhnya tidak semudah itu Paidi berubah menjadi orang baik, dia masih seorang pria oportunis yang menghalalkan segala cara, dalam hatinya dia masih seorang penjahat.


Hidup Paidi akan segera berubah.


Beberapa malam yang lalu, Paidi baru saja pulang dari nongkrong di warung kopi yang buka sampai jam dua pagi. Paidi sengaja lewat jalan komplek yang sepi karena ada jalan tikus yang bisa lebih cepat sampai ke pasar di seberang komplek. Paidi memang biasa begadang, jam dua minum kopi, lalu pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan untuk bakso, dan paginya keliling lagi. Pasar di seberang komplek memang sudah buka sejak jam empat pagi dan biasanya pembeli yang datang jam segitu akan mendapatkan potongan harga yang lumayan langsung dari distributor, apalagi barangnya masih segar dan fresh.


Malam itu, entah kenapa Paidi memilih untuk beristirahat sebentar di pojok pengkolan jalan di dekat pos kamling. Kebetulan tempat Paidi beristirahat agak pojok dan terlindung oleh bayangan. Jadi siapapun yang melintas jalan akan terlihat oleh Paidi, namun sebaliknya, orang itu tidak akan melihat si tukang bakso.


Paidi tidak akan pernah melupakan pemandangan indah yang lewat di depannya.


Malam itu, Paidi melihat seorang bidadari berjalan terburu-buru menuju ke pos kamling. Bidadari dalam balutan daster tembus pandang. Rambutnya sebahu, kulitnya putih mulus, hidungnya mancung, dadanya membusung dan pantatnya bulat menggemaskan. Entah kenapa bidadari itu seperti ketakutan dan kebingungan.


Malam itu, Paidi memergoki Alya sedang menemui Pak Bejo.


###


Mall yang dituju taksi yang ditumpangi oleh Lidya dan Pak Hasan berada di tengah kota. Sejak berangkat dari rumah sampai ke lokasi, Pak Hasan lebih banyak diam. Untunglah Pak Hasan tidak turut campur mendikte pakaian yang akan dipakai Lidya sehingga dia bisa pergi menggunakan baju yang lumayan sopan. Lidya mengenakan rok mini selutut dan baju yang tidak terlalu ketat. Walaupun berpenampilan seadanya, Lidya masih tetap terlihat cantik mempesona.


Walaupun mulutnya terdiam, tapi tangan Pak Hasan masih tetap beraksi. Duduk berdampingan dengan Lidya di kursi belakang, Pak Hasan dengan nakal mengelus-elus kaki menantunya itu dengan santai. Berulang kali Lidya merasa tidak enak karena melihat mata sang sopir melirik ke belakang menggunakan kaca.


Bahkan Pak Hasan kadang nekat membelai paha Lidya yang mulus atau sesekali meremas payudaranya. Wanita cantik itu sudah memperingatkan mertuanya agar tidak nekat karena sang sopir bisa melihat mereka. Tapi Pak Hasan hanya tersenyum. Beberapa kali suara sang sopir meneguk ludah bisa terdengar dari belakang.


Akhirnya setelah menempuh jarak cukup jauh, Pak Hasan dan Lidya sampai di pusat pertokoan yang dituju. Ketika Lidya hendak membuka dompet untuk membayar taksi, Pak Hasan menggeleng. Dia melirik ke arah argo dan memberikan uang dari kantong celananya.


Sang sopir melongo melihat uang pemberian Pak Hasan.

"Wah, gak salah nih, Pak? Duitnya kurang dong! Argonya aja segitu, masa bayarnya cuma segini? Yang bener aja!" Wajah sang sopir memerah karena merasa dipermainkan.


"Ini, ada kok..." Lidya kembali hendak membuka dompet. Tapi tangannya diremas Pak Hasan yang langsung menggeleng dan melotot galak, Lidyapun mengurungkan niatnya. Kenapa lagi Pak Hasan ini? Mau cari perkara dengan sopir taksi? Keringat mulai menetes di dahi istri Andi itu.


"Menurut mas sopir, menantu saya ini cantik tidak?" tanya Pak Hasan tiba-tiba. Lidya langsung mengernyitkan dahi, perasaannya tidak enak.


Sang sopir meneguk ludah. Pandangannya beralih ke arah Lidya. Bagaikan seekor macan yang siap menerkam mangsa, dia memperhatikan Lidya dari atas ke bawah.


"Gila, kirain tadi ini istrinya, soalnya mesra banget, ternyata menantunya ya?"

"Menantu saya ini orangnya sangat pengertian dan baik. Dia senang kalau bisa menghibur orang lain yang kesusahan, contohnya saya ini, saya sudah lama jadi duda. Jadi bagaimana menurut mas, menantu saya cantik tidak?" Pak Hasan mengulang pertanyaannya.


Lidya merasa jengah mendengar percakapan dua orang ini, apalagi sang sopir kemudian memandang ke arahnya dengan remeh dan tersenyum menjijikkan.


"Wah, Pak! Bukan cantik lagi namanya kalau yang seperti ini!" jawab sang sopir taksi, "Cuantikkk!! Kayak bintang sinetron!"

"Bagaimana pendapat mas tentang tubuhnya, bagus tidak?" tanya Pak Hasan lagi. Lidya sudah bersiap keluar dari taksi tapi ditahan oleh Pak Hasan.


"Seksi, Pak!"


"Baiklah, bagaimana kalau untuk membayar kekurangan saya tadi, saya tawarkan bibir menantu saya ini? Masnya boleh mencium dia selama satu menit plus meremas susunya selama itu pula. Bagaimana?" tanya Pak Hasan.


Sopir itu melongo.


Tubuh Lidya langsung lemas. Dia tidak menyangka Pak Hasan akan menggunakan dirinya sebagai alat pembayaran. Geram sekali rasanya Lidya karena diperlakukan seperti pelacur hina oleh mertuanya sendiri. Tapi cengkraman tangan Pak Hasan yang tidak bisa dilepaskannya menyadarkannya akan satu hal, dia harus melakukan apapun perintah sang mertua, separah apapun perintahnya itu.


Sang sopir taksi yang bertubuh kurus dan berkulit gelap terbakar matahari kembali meneguk ludah. Gila, kalau begini caranya orang ini membayar, bisa kurang nanti duit setoran ke bos, tapi kapan lagi dia bisa mencium orang secantik bidadari? Walaupun cuma semenit, tapi bibir Lidya yang ranum itu membuatnya sangat nafsu, belum dekat dengannya saja si otong yang di bawah sudah ngaceng, apalagi kalau boleh mencium, wah, asoy sekali. Bininya di rumah jelas kalah jauh. Hatinya bimbang, tapi nafsu akhirnya mengalahkan akal sehat sang sopir.


Lidya makin merasa tertampar saat melihat sopir berwajah ketus itu mengangguk sambil cengengesan.


"Bolehlah, Pak. Sekali ini saja. Kapan lagi saya bisa ngerasain yang begini?"


Pak Hasan tersenyum.

"Silahkan mas sopir pindah ke kursi belakang, saya yang akan menghitung waktunya."


Buru-buru sopir itu pindah ke belakang dan duduk di samping Lidya.


"Pak, aku..." Lidya mencoba memprotes.


Pak Hasan kembali mencengkeram lengan Lidya. Tidak ada gunanya melawan pria tua yang busuk ini, Lidyapun menunduk pasrah.


Sang sopir tidak membuang waktu, begitu Pak Hasan mengangguk memberi ijin sambil memegang erat tubuh Lidya yang sudah siap meronta, dia langsung mencium bibir Lidya. Lidya memejamkan mata karena tidak tahan melihat wajah sopir taksi yang sudah mupeng abis, mulutnya yang terkatup perlahan-lahan dibuka karena ia takut Pak Hasan akan menyakitinya seandainya ia menolak membalas ciuman sang sopir.


Awalnya mereka berciuman dengan lembut, bibir sang sopir yang sudah basah dan bau rokok membelai bibir Lidya yang ranum dan membasahinya pelan-pelan. Lalu pria itu menghisap lembut bibir bawah Lidya sebelum akhirnya benar-benar menangkupkan seluruh bibirnya ke bibir Lidya. Menantu Pak Hasan itu melenguh kesakitan saat kemudian sang sopir meremas buah dadanya dengan kasar dan penuh nafsu. Karena ukuran buah dada Lidya lebih besar dari milik istrinya, sang sopir makin bernafsu, remasan tangan sang sopir makin lama makin cepat.


Lenguhan Lidya membuat mulutnya terbuka, sang sopir menyorongkan lidahnya masuk ke mulut menantu Pak Hasan yang cantik itu. Lidah sang sopir bertemu dengan lidah Lidya dan keduanya bertautan. Perasaan takut mengkhianati suami dan rasa bersalah yang menebal malah membuat Lidya makin pasrah. Dia sudah tidak tahu lagi mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang tidak. Bibirnya selalu menjadi milik Andi sang suami, tapi kini, mertuanya dan bahkan seorang sopir taksi tak dikenal telah mencicipi keranuman bibir Lidya.


Pak Hasan tersenyum kegirangan melihat menantunya kembali melenguh, jelas sekali kalau Lidya lama kelamaan terangsang juga walaupun pada awalnya menolak mati-matian. Dengan sengaja Pak Hasan memberikan kesempatan pada sang sopir untuk menikmati bibir Lidya lebih dari satu menit yang dijanjikan. Dari tonjolan besar di selangkangan, terlihat jelas sopir itu pasti sudah ngaceng sedari tadi, Pak Hasan terkekeh melihatnya.


Ciuman Lidya dan sang sopir taksi berakhir saat Pak Hasan menepuk pundak sang sopir.

"Oke, mas. Sudah satu menit lebih dua puluh detik". Kata Pak Hasan sambil menunjuk jam digital di dashboard taksi.

"Yang dua puluh detik aku hitung bonus."


Sopir taksi itu mengangguk puas.

"Wah, bapak beruntung sekali punya menantu seperti ini, dicium semenit aja udah bikin blingsatan! Apalagi kalau dipake!"


Sambil mengucapkan terima kasih, Pak Hasan dan Lidya keluar dari taksi dan masuk ke dalam mall. Sopir taksi itu tidak bisa melepaskan pandangan dari Lidya, sayangnya, beberapa saat kemudian ada seorang penumpang masuk sehingga dia harus segera pergi Entah kapan lagi dia bisa berjumpa dengan si cantik itu, mungkin inilah yang dinamakan pengalaman sekali seumur hidup. Sopir itu menggelengkan kepala mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi dan membawa penumpangnya meninggalkan mall.


###


Anissa Wibisono merasakan kegembiraan yang meluap-luap seakan meledak di dalam dadanya. Tunangannya, Dodit Darmawan masih berada di belakang setir mobil saat Toyota Avanza hitam yang mereka naiki mulai memasuki jalan menuju komplek perumahan yang cukup terkenal di daerah pinggiran kota. Pepohonan yang rindang dan sejuk menyambut mobil yang menggelinding dengan lembut di jalan yang sepi. Anissa melirik ke arah Dodit dan mencubit paha tunangannya dengan genit. Dodit melirik ke arah Anissa dan tersenyum penuh rasa sayang.


Dodit sebenarnya agak ragu berkunjung ke rumah kakak Anissa, mereka belum terlalu akrab sehingga dia khawatir kunjungannya akan mengganggu kegiatan keluarga Mas Hendra. Tapi karena Mas Hendra ditunjuk sebagai calon wali dari Anissa kelak di pernikahan mereka, Dodit mau tidak mau harus mengakrabkan diri dengan Mas Hendra dan Mbak Alya, dalam hatinya yang paling dalam Dodit berpikir mungkin akan jauh lebih mudah mendekati putri kecil mereka, Opi.


Baru beberapa bulan bertunangan setelah hampir dua tahun pacaran membuat pasangan Anissa dan Dodit kembali hot. Dodit yang juga senior Anissa di kampus sudah lulus tahun lalu dan sekarang magang di sebuah perusahaan swasta. Tahun ini Anissa juga dipastikan akan lulus dan pernikahan yang sudah mereka nanti-nantikan akan segera menjadi kenyataan.


Anissa sangat mengagumi Dodit dan bisa berkunjung ke rumah Mas Hendra dan Mbak Alya bersama tunangannya tercinta sudah menjadi keinginannya sejak lama. Karena kesibukannya, Mas Hendra sempat menengok rumah lama. Atas perintah ibunya, Anissa dan Dodit diminta berkunjung dan menginap selama akhir pekan di rumah Hendra agar mereka bisa lebih akrab.


Dodit sedikit grogi, walaupun sudah bertunangan dengan Anissa, dia masih grogi kalau disuruh bertemu dengan keluarganya, apalagi weekend ini mereka berdua diminta menginap di rumah Mas Hendra. Berulang kali Dodit melirik ke arah spion untuk memperhatikan penampilannya.


"Kamu ganteng kok, sayang." Kata Anissa sambil membenahi make-upnya sendiri.

"Tampan, seperti biasa."


Wajah Dodit memang cukup lumayan, dia pantas bersanding dengan Anissa yang cantik dan menggairahkan. Walaupun masih muda dan tidak memiliki perawatan khusus, tapi tubuh Anissa benar-benar indah dan menggiurkan. Didukung wajah cantik melankolis, kulit putih mulus, buah dada menggunung dan rambut panjang sepunggung, penampilan gadis ini sangat sempurna.


Dodit tertawa mendengar sindiran Anissa.

"Ah, kamu ini. Aku kan grogi, say. Ini pertama kali aku menginap di tempat Mas Hendra. Aku harus tampil serapi mungkin. Takut tidak direstui nantinya..."


Anissa tersenyum manis dan dengan rasa sayang membelai rambut Dodit.

"Jangan khawatir, sayang. Mas Hendra dan Mbak Alya pasti akan menyukaimu. Mudah-mudahan kamu juga bisa menyukai mereka."


"Ah, sudah jelas aku menyukai mereka. Kakakmu orangnya baik hati walaupun sedikit pendiam. Mbak Alya apalagi, sangat ramah dan baik hati, cantik pula," Dodit merapikan kemejanya yang berkerut,


"tapi menurutku yang paling enak diajak ngobrol sebenarnya si Opi. Aku sudah kangen ingin menemuinya."


Anissa tertawa.

"Opi memang lucu, menggemaskan sekali. Aku juga sudah kangen."


Mobil mereka melaju melewati sebuah komplek pemakaman.


"Tapi dengar-dengar, lokasi komplek perumahan ini cukup seram lho. Aku dengar dari beberapa orang teman, katanya di tempat ini banyak setannya." Kata Dodit dengan sengaja menakut-nakuti tunangannya yang jelita, tentunya dia hanya bohong belaka.

"Kalau tidak tahan, boleh tidur seranjang denganku nanti malam."


"Ha ha! Dasar otak mesum! Aku tidak mudah kau takut-takuti seperti itu!" Anissa tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Dodit, dengan manja gadis itu menggelayut di samping Dodit.


"Biarpun ada suster ngesot dan hantu jeruk purut, aku punya pahlawan perkasa di sampingku!"


Dodit tersenyum sipu, wajahnya memerah tapi dia meneruskan godaannya,

"Kalau tidak salah dengar pula, informasi ini berasal dari sumber yang bisa dipercaya lho, kabarnya ada hantu cabul yang hobi memangsa anak perawan orang!"


Dengan manja Anissa memukuli pundak tunangannya.

"Udah ah! Bercandanya nggak asyik! Mas Dodit jahat! Aku nanti nggak bisa tidur!"


"Kamu kan masih perawan, say. Kalau aku jadi kamu... hmmm..." Dodit tersenyum sok ngeri. "aku akan lebih berhati-hati nanti malam... lebih baik aku tidur minta ditemani Mbak Alya atau... atau minta ditemani sama Mas Dodit tersayang! Ha ha ha!"


Anissa mencibir dan menjulurkan lidah, wajahnya yang malu memerah, makin manis saja gadis ini. "Huh, itu kan maunya Mas Dodit! Dasar otak mesum!"


Entah kenapa, ada angin dingin yang bersemilir di udara dan menghembuskan udara dingin di tengkuk Anissa dan Dodit. Perasaan mereka menjadi tidak enak, seakan suatu hal yang buruk akan segera terjadi.


Tiba-tiba saja Dodit menghentikan mobilnya. Dia mengedip ke arah Anissa.

"Kau tahu tidak, say. Kau terlihat sangat mempesona."


###


Lokasi pusat pertokoan yang didatangi oleh Pak Hasan dan Lidya berada di tengah kota dan sangat ramai pengunjung. Hilir mudik orang berjalan keluar masuk toko. Pandangan Lidya masih kabur, entah karena pusing melihat banyaknya pengunjung mall atau perasaan jengahnya yang tidak juga mau hilang setelah mencium seorang sopir taksi yang tak dikenal. Dia merasa seperti seorang pelacur hina dan ini semua karena ulah ayah mertuanya yang bejat.


Pak Hasan menarik tangan Lidya dengan kasar memasuki sebuah toko baju yang cukup terkenal. Pria tua itu berkata,


"Ayo, nduk. Kita cari baju yang lebih cocok untuk pelacur seperti kamu."


Lidya menggeram kesal tapi tak bisa berbuat banyak, mertuanya memang benar-benar tidak tahu malu, berani-beraninya dia mengatainya pelacur, padahal ini semua ulahnya. Lidya hanya diam saja di pojok saat Pak Hasan berkeliling dan menarik beberapa lembar baju wanita, dia bahkan tidak malu saat mengambil beberapa helai pakaian dalam untuk Lidya. Beberapa orang SPG menatap heran pada pasangan aneh ini.


Akhirnya, Pak Hasan menarik lengan Lidya untuk ikut berkeliling bersamanya.

"Aku akan memilihkan baju yang terbaik dan bisa membuatmu tampil seksi, nduk. Jangan khawatir, kau pasti akan terlihat sangat mempesona. Baju yang sekarang kamu pakai itu kesannya kuno, aku carikan yang baru." Kata Pak Hasan.


Lidya melotot galak dan disambut cengiran cabul sang mertua. Setelah mengikuti Pak Hasan berkeliling dan mengambil beberapa baju, akhirnya Lidya digiring ke kamar ganti. Sekilas lihat Lidya langsung tahu jenis baju yang dipilih Pak Hasan, baju-baju yang hanya pantas dikenakan seorang pelacur. Bahkan menurut Lidya, pelacur yang paling menjijikkan sekalipun hanya berani mengenakan pakaian seperti itu saat sedang 'menawarkan dagangannya', sementara Lidya akan mengenakannya di dalam mall yang ramai pengunjung.


Lidya dan Pak Hasan masuk ke kamar ganti bersamaan. Lidya melirik ke arah Pak Hasan, dia berbalik ke arah mertuanya dan memandangnya heran, dalam hati Lidya bertanya-tanya kapan mertuanya itu akan keluar dari kamar ganti. Pak Hasan menggelengkan kepala.

"Aku tetap di sini. Aku sudah pernah lihat kamu telanjang, apa salahnya melihatmu berganti pakaian? Tidak perlu pura-pura sok suci. Ayo cepat ganti!"


Dengan perlahan Lidya melucuti pakaiannya, walaupun air matanya sudah di ujung pelupuk karena merasakan pahitnya nasib yang ia alami, tapi wanita cantik itu berusaha menahan diri agar tidak menangis. Dia tidak mau Pak Hasan lebih marah lagi. Satu persatu pakaian yang dikenakan dilepasnya, sampai kemudian Lidya hanya mengenakan BH dan celana dalam.


"Kamu memang benar-benar seksi, nduk. Bapak bangga punya menantu seperti kamu." Celoteh Pak Hasan. "Dilihat saja enak apalagi kalau ditiduri. Lezat sekali."


Pak Hasan menatap tubuh Lidya untuk beberapa saat. Saat menantunya itu hendak mengambil pakaian, Pak Hasan menggeleng dan melarang. Pria tua itu mengambil sesuatu dari dalam tumpukan baju dan memberikannya pada Lidya, rupanya sebuah celana dalam yang sangat mungil, g-string.


Lidya menatap tak percaya celana dalam yang diberikan Pak Hasan padanya. Dia juga terheran akan dua hal. Satu adalah bagaimana mertuanya itu bisa tahu ukuran celana dalamnya dan yang kedua adalah ukuran celana g-string yang sekarang berada di tangannya. Bagaimana mungkin barang sekecil dan semungil itu bisa dipakai? Terlalu kecil untuk bisa menyembunyikan apa-apa. Celana itu bagaikan tali kecil yang hanya melingkar di selangkangannya.


"Cepat dipakai." Desis Pak Hasan galak. Dia mencubit pantat Lidya sampai memerah. Lidya meringis kesakitan dan mengangguk.


Dengan malas Lidya melepaskan celana dalam krem yang dipakainya dan menggantinya dengan g-string. Ternyata celana kecil itu pas sekali, bisa dirasakannya temali celana g-string itu menggaris bibir kemaluannya. Hanya dengan mengenakan celana ini saja sudah bisa membuat Lidya sangat terangsang. Wajah Lidya memerah karena malu saat melihat Pak Hasan tersenyum cabul menatapnya di cermin.


"Masih ada yang kurang..." Pak Hasan memperhatikan tubuh menantunya yang hanya mengenakan BH dan celana dalam.


"Lepaskan BHmu," perintahnya kemudian,

"dadamu itu bagus, nduk. Dada seperti itu seharusnya dibanggakan dan dipamerkan, bukannya malah disembunyikan di balik BH yang sesak."


Belum sempat Lidya memprotes, Pak Hasan sudah melangkah ke belakang Lidya, pria tua itu dengan cekatan membuka kait di bagian belakang BH. Wajah Lidya memerah ketika BHnya jatuh ke lantai ruang ganti. Tanpa perlindungan BH, payudara Lidya yang ranum bergelantungan dengan erotis di dada wanita cantik itu.


Pak Hasan meraih ke tumpukan baju yang dibawanya dan mengambil sebuah rok mini berwarna hitam, dia memberikannya pada Lidya untuk segera dipakai. Lidyapun segera mengenakannya. Rok yang diberikan Pak Hasan itu adalah rok mini yang paling pendek yang pernah dipakai Lidya sepanjang hidupnya. Rok itu sama sekali tidak cocok dikenakan seorang wanita dengan kaki jenjang seperti Lidya, karena jika dia membungkuk sedikit saja maka orang-orang di belakangnya akan bisa mengintip isi roknya dengan jelas dan gratis padahal dia hanya mengenakan g-string tipis. Sementara bagian atas rok yang rendah akan membuat orang lain bisa menikmati bagian atas celana dalam yang dipakai Lidya dan celah pantatnya yang menggaris. Dia tidak akan bisa berdiri dengan nyaman.


Lidya mendesah. Dia hanya bisa pasrah, dalam situasi normal, dia hanya mau mengenakan pakaian seksi seperti ini di hadapan suaminya seorang. Tapi saat ini Lidya tidak sedang berada dalam situasi yang normal. Mertuanya yang bejat membuatnya tak bisa berbuat apa-apa kecuali menurut padanya.


Lidya menarik baju dari tumpukan pakaian pilihan Pak Hasan. Sebuah kemeja berwarna putih yang tipis. Tubuh Lidya bergetar ketakutan melihat pakaian yang dipilih Pak Hasan itu. Jika dia tidak diperbolehkan mengenakan BH, maka buah dadanya yang kencang dan besar akan terbentuk jelas di kemeja, bagian lehernya juga rendah sehingga akan mempertontonkan belahan dada Lidya, belum lagi puting susunya pasti akan menjulang maju ke depan. Kemeja itu membuat kemontokan dada Lidya bisa dinikmati oleh banyak orang. Dia akan semakin terlihat seperti seorang pelacur murahan. Dengan panik Lidya memilih baju lain dari tumpukan pakaian, ternyata semua sejenis, malah beberapa pakaian ada yang lebih parah lagi.


"Aku tidak bisa mengenakan baju ini." Protes Lidya dengan keringat mengalir deras di dahinya. "Tidak mungkin aku bisa mengenakan pakaian seperti ini di luar sana. Pak, kumohon... kasihani aku... tolong, Pak! Carikan baju yang lebih pantas! Aku ini masih menantumu, Pak! Kumohon..."


"Itu baju bagus, nduk. Kenapa tidak mau? Kamu akan terlihat sangat mempesona." Jawab Pak Hasan sambil menggeleng kepala menolak protes Lidya. "Kamu harus memakainya. Kalau tidak mau, aku akan membiarkanmu keliling mall tanpa menggunakan celana dalam. Pilih mana?"


Lidya tidak percaya ini semua terjadi, ini sudah keterlaluan! Mertuanya benar-benar sudah kehilangan akal sehat! Tidak saja dia sudah memperkosa Lidya, memukulinya, menggunakan bibir dan dadanya untuk membayar taksi, masih ditambah sekarang hendak mempermalukannya di depan orang banyak! Emosi wanita cantik itu memuncak dan wajahnya memerah, dia marah pada diri sendiri karena lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa, dia tidak sanggup menjalani ini semua. Bagaimana nanti seandainya ada orang yang dia kenal melihatnya berjalan-jalan dengan pakaian seperti ini? Atau bagaimana nanti seandainya Mbak Dina atau Mbak Alya melihatnya? Atau... atau...


"Aku tidak bisa melakukannya..." Lidya berbisik lirih.


Sayang Pak Hasan tak bergeming dan menatapnya galak. Tangannya mencengkeram lengan Lidya hingga terasa sakit sampai ke tulang. Tubuh Lidya bergetar ketakutan. Tidak mungkin ayah mertuanya itu begitu tega, tapi Pak Hasan tidak main-main. Istri Andi itu akhirnya pasrah dan hanya bisa menganggukkan kepala pertanda setuju. Ia mencoba mengenakan pakaian yang dipilih oleh sang ayah mertua.


Dalam sekejap, pakaian Lidya sudah berganti. Pak Hasan memasukkan pakaian yang tadinya dikenakan oleh Lidya ke dalam tas plastik. Saat sudah menggunakan pakaian ala pelacur ini, barulah Lidya sadar susahnya berjalan tanpa mempertontonkan bagian tubuhnya yang mulus. Dia harus berhati-hati agar tidak mengangkat kaki terlalu tinggi atau membungkuk terlalu dalam karena bagian pantatnya yang hanya mengenakan celana dalam g-string akan terlihat jelas oleh orang di belakangnya.


Kemeja yang dikenakan Lidya juga lebih mengerikan, kemeja itu seharusnya dikenakan dengan kamisol melihat bagian lehernya yang rendah, tapi Pak Hasan tidak mengijinkan Lidya mengenakannya, seakan-akan belum parah, Pak Hasan juga membuka kancing teratas kemeja Lidya sehingga belahan dadanya makin terlihat jelas, sangat menggoda birahi laki-laki yang menatap. Buah dadanya yang montok dan kencang menyeruak ke depan sementara pentilnya makin lama makin menegang karena ac mall yang dingin. Tiap kali berjalan, Lidya khawatir payudaranya suatu saat akan terpantul dan mental keluar tepat di depan pengunjung mall. Jelas hal itu tidak diinginkan olehnya.


Akhirnya, setelah Pak Hasan puas, mereka berdua pergi membayar ke kasir. Entah sial bagi Lidya entah kebetulan, seorang pemuda tanggung sedang bertugas di meja kasir, kemana para pegawai wanita yang biasa berjaga di kasir? Pak Hasan dan Lidya berdiri di depan pemuda itu.


"Saya beli baju yang sudah saya pakai ini..." desah Lidya lirih.

"Juga celana dalam yang saya pakai sekarang..."


Saat melihat ke arah Lidya, rahang si pemuda seakan mau copot. Gila, wanita cantik ini berani sekali berpenampilan seksi! Si otong di selangkangan pemuda penjaga mesin kasir langsung ngaceng melihat penampilan Lidya. Dengan hati-hati pemuda itu melepaskan tag harga dan penjepit anti-maling dari baju dan rok yang dikenakan Lidya, dia melakukannya sambil hati-hati sekali karena takut dianggap tidak sopan, wangi tubuh Lidya membuatnya terbang ke awang-awang. Untung saja Pak Hasan sudah melepaskan tag harga dari celana dalam yang dikenakan Lidya sehingga dia tidak perlu mempertontonkannya pada sang pemuda yang masih terlihat sangat lugu ini.


Beberapa orang customer laki-laki yang kebetulan menemani pasangan mereka belanja juga tidak bisa melepaskan pandangan dari Lidya sambil meneteskan air liur. Penampilan seksi Lidya benar-benar membuat mereka nafsu. Lidya merasa malu dan memperhatikan pentil susunya sendiri perlahan mengeras dan menyodok kemeja yang dikenakannya. Dengan buru-buru Lidya mengeluarkan dompet dan mengambil kartu kredit.


Pemuda yang menjadi kasir menggesek kartu kredit Lidya dengan tangan gemetar. Beberapa kali dia salah memencet tombol karena terganggu oleh pemandangan indah di hadapannya. Penisnya juga makin ngaceng dan menghunjuk ke luar, pemuda itu dengan malu mengempit otongnya sendiri. Keadaan ini makin membuat Lidya khawatir, sayangnya makin khawatir wanita cantik ini, makin besar puting payudaranya mengembang.


Pemuda kasir itu memberikan kesempatan bagi Lidya untuk menandatangani berkas yang keluar dari mesin kartu kredit. Saat tanda tangan, Lidya terpaksa membungkuk karena posisi kasir yang pendek. Saat itulah satu buah dada Lidya tiba-tiba saja melompat keluar dari dalam kemejanya.


"Ya Tuhan!!" desah si pemuda yang langsung terperanjat.


Dengan cekatan Lidya merapikan kemejanya dan memasukkan buah dadanya kembali ke dalam sebelum ada orang yang melihat. Walaupun hanya beberapa detik saja, tapi pemuda kasir itu jelas sangat beruntung. Wajah Lidya memerah karenanya dan secepat mungkin meninggalkan meja kasir setelah urusan pembayaran usai. Pak Hasan terkekeh bahagia saat mereka akhirnya sampai di luar toko.


"Kamu lihat tidak tadi wajah bocah itu?" Pak Hasan tertawa cekakakan sambil menggandeng Lidya yang pucat pasi menuju tempat lain. Seandainya mungkin, Lidya ingin pingsan saat ini juga.


Berjalan-jalan di sebuah mall besar yang ramai oleh pengunjung dengan mengenakan busana minim jelas bukan ide yang baik menurut Lidya. Berkali-kali wanita muda yang cantik itu membenahi rok dan baju yang dikenakannya agar tidak terlalu mencolok. Tapi seperti apapun usaha Lidya untuk membenahi, kemolekannya mengundang birahi. Kepalanya terus menunduk karena Lidya tidak mau dikenali oleh teman atau siapapun yang kebetulan berjumpa dengannya. Seandainya tidak kenalpun, Lidya tetap merasa malu dengan penampilannya yang seronok. Entah mana yang lebih parah, berjalan di tengah mall dengan pakaian seperti pelacur atau sekalian saja telanjang. Yang jelas saat ini Lidya merasa dirinya sangat telanjang.


Seorang satpam garuk-garuk kepala karena indahnya pemandangan yang disajikan oleh Lidya. Walaupun sudah sering melihat seorang wanita cantik berpakaian seksi, baru kali inilah satpam itu melihat cewek yang sepertinya perempuan baik-baik mengenakan baju super minim. Kalau saja RUU Anti Pornografi & Pornoaksi disahkan, Lidya pasti akan langsung ditangkap polisi.


"Pak, sudah saja ya, Pak. Kita pulang saja." Wajah Lidya memelas memohon ampun pada ayah mertuanya. Wanita cantik itu terus meratap manja. "Aku malu sekali. Kita pulang saja."


Pak Hasan menggelengkan kepala sambil tersenyum sadis. "Baru masuk kok sudah mau pulang?"


"Aku malu sekali..."

"Sini, mendekat kesini, nduk!"


Satu-satunya cara bagi Lidya untuk menutupi kejengahan dan rasa malunya yang membuncah adalah dengan merapatkan tubuhnya dengan sang ayah mertua. Pak Hasan tertawa saat sang menantu yang seksi itu mendempel erat. Pak Hasan merangkul pundak Lidya sehingga mereka berdua nampak seperti sepasang kekasih. Beberapa orang yang berpapasan atau nongkrong di pinggir koridor menatap heran ke arah sepasang manusia ini. Bagaimana mungkin bidadari secantik dan seseksi Lidya mau bergaul dengan pria gemuk buruk rupa seperti Pak Hasan?


Saat mereka berjalan berdua, Pak Hasan memperhatikan banyak laki-laki tua muda yang sedang berjalan-jalan melirik penuh minat ke arah Lidya. Buah dadanya yang terpantul naik turun bisa dilihat dengan jelas, sementara kaki Lidya yang jenjang terlihat seksi dan sangat mulus dengan rok super mini yang dikenakannya. Beberapa orang meneteskan air liur melihat kemolekan menantu Pak Hasan itu. Makin bangga mertua bejat itu pada menantunya.


###


Dodit menghentikan mobil tidak begitu jauh dari gerbang utama komplek perumahan kakak kandung Anissa. Tunangannya yang lugu itu terheran-heran.


"Lho? Kok berhenti, Mas? Apa ada yang salah?" tanya Anissa.


Dodit tersenyum. "Tidak ada yang salah. Kamu manis sekali, say. Manis dan seksi."


Dodit menggeser posisinya duduk agar bisa sedikit mendekati Anissa. Gadis itu langsung bisa melihat perubahan ukuran gundukan di selangkangan Dodit. Tangan Dodit membawa jari-jemari Anissa ke arah gundukan itu. Sembari dibimbing oleh Dodit, tangan Anissa mengelus kemaluan tunangannya yang makin lama makin membesar di balik celana. Tangan Dodit sendiri tidak diam begitu saja. Dia mengelus seluruh tubuh Anissa dari atas sampai ke bawah.


Dengan berani Dodit menciumi wajah dan leher sang kekasih.


"Mas Dodit! Jangan Mas! Apa yang Mas lakukan?" tanya Anissa sambil merem melek, walaupun sepertinya menolak, tapi gadis cantik itu cukup menikmati serangan tangan dan banjir ciuman dari Dodit. Dengan penuh semangat Dodit meremas-remas buah dada Anissa yang montok dan menggemaskan. Anissa berusaha mendorong Dodit menjauh tapi tunangannya itu jelas lebih kuat.


Anissa melenguh keenakan saat Dodit mengecup dan melesakkan tangannya ke balik baju yang dikenakan Anissa. Tangan Dodit kian merajalela di balik baju yang dikenakan gadis cantik itu. Dengan nekat tanpa takut ketahuan orang yang kebetulan lewat, Dodit menyelipkan tangan ke balik BH Anissa yang masih dikenakannya dan memainkan pentilnya dengan memilin dan meremas gumpalan dagingnya yang indah. Berulang kali Anissa melenguh.


Baju Anissa terbuka dan BHnya terangkat naik. Dodit makin leluasa menikmati bagian dada dari Anissa yang memang besar dan indah itu. Makin lama makin tidak kuatlah Dodit menahan gejolak nafsu birahinya, dia menggumuli Anissa dan mencoba melepaskan kancing celana jeans tunangannya.


"A-aku ingin bercinta denganmu, say..." bisik Dodit lirih di telinga Anissa. Laki-laki muda yang sudah horny itu memeluk tubuh indah Anissa dan mengulum bibirnya dengan nafsu, kedua tangannya bergerak bebas meremas-remas gundukan indah buah dada Anissa.


Anissa menggelengkan kepala, walaupun merasa panas dan siap bercinta, tapi Anissa tidak mau menyerah pada nafsu birahinya. Dengan sedikit memaksa, Anissa mendorong Dodit menjauh.


"Jangan, Mas. Aku mohon... sudah cukup, jangan melakukan sesuatu yang akan kita sesali nantinya... aku tidak bisa... aku mohon, kalau Mas Dodit benar-benar mencintaiku... Mas harus menghargai keputusanku untuk mempertahankan milikku yang berharga sampai pernikahan kita nanti..."


Dodit mundur sambil ngos-ngosan. Nafasnya tersengal dan tidak teratur. Dodit memandang ke arah Anissa dengan kesal.


###


Pak Hasan meninggalkan Lidya sendirian duduk seorang diri di sebuah bangku panjang di depan toko yang menyediakan peralatan elektronik. Pria tua itu cekikikan melihat kegelisahan sang menantu dari jarak jauh. Pria busuk ini memang sengaja membiarkan Lidya sendirian, dia ingin melihat menantunya yang cantik itu digoda laki-laki lain. Dengan pakaian yang super seksi seperti itu, pasti mudah bagi Lidya memperoleh perhatian seorang lelaki, apalagi yang hidung belang. Tanpa mengenakan pakaian seksipun Lidya sudah mampu membuat mata seorang pria terpukau, bagaimana seandainya dia mengenakan baju super seksi?


Keringat dingin mulai membasahi tubuh Lidya. Duduk di depan sebuah toko elektronik yang ramai dikunjungi oleh laki-laki berbagai usia dengan pakaian seperti seorang pelacur murahan membuatnya ingin lari. Tapi Lidya takut dengan ancaman Pak Hasan yang tidak saja bisa menghajar tubuhnya secara fisik tapi juga menghancurkan masa depannya bersama Andi. Dia hanya bisa pasrah dan berharap mertuanya itu segera keluar dan menjemputnya. Saat ini Lidya hanya ingin segera pulang ke rumah.


Untungnya Lidya membawa handphone. Walaupun simcard yang tadinya berada di dalam hp sudah dicabut dan disita oleh Pak Hasan sebelum mereka berangkat ke mall, tapi dia masih bisa menggunakannya untuk kamuflase. Tidak peduli berapa jumlah lelaki yang menggoda ataupun nanar menatapnya seperti akan menelan tubuh indah Lidya bulat-bulat, wanita cantik itu berkonsentrasi menatap layar mini di hpnya dan berpura-pura memencet tombol.


Sialnya, bukannya cuek, malah makin banyak pria-pria nakal yang memperhatikan Lidya. Seorang pria yang berusia sekitar 40 tahun keluar dari toko yang dimasuki Pak Hasan dan langsung berdiri di depan Lidya. Pria itu membawa tas jinjing plastik yang berisi mainan anak-anak. Lidya yang melirik diam-diam langsung tahu kalau pria ini pasti sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak yang masih kecil, tapi sepertinya dia pergi sendirian. Lidya makin gelisah, dia berusaha menyilangkan kakinya sesopan mungkin untuk menutup bagian selangkangannya yang terbuka lebar. Tapi dengan cara itu, kini pahanya yang mulus bisa dinikmati oleh sang lelaki hidung belang yang sedang memanjakan mata.


Lidya kian jengah, dia terus menanti-nanti Pak Hasan yang tidak kunjung keluar dari toko elektronik. Paha mulus Lidya sudah melambai-lambai seakan minta dielus, walaupun sudah berusaha sebisa mungkin untuk menutupinya, penampilannya tetap terlihat seronok. Mata wanita cantik itu memerah karena menahan air mata. Lidya melirik lagi ke arah sang pria hidung belang, ia berharap pria itu sudah pergi. Ternyata dugaan Lidya salah, orang itu malah makin mendekat. Terlihat jelas dari posisi Lidya, sebuah gundukan kian membesar di bagian selangkangan pria itu. Lidya memalingkan wajahnya yang memerah karena malu.


Pria hidung belang itu memutari etalase toko seperti seorang anak kecil yang tersesat, berputar tanpa arah yang jelas, tapi satu hal yang pasti, pandangan matanya selalu kembali ke arah paha Lidya yang putih mulus tanpa cacat. Entah harus khawatir atau malah bangga, Lidya sedikit menyunggingkan senyum karena sikap orang itu malu-malu. Tapi Lidya tidak mau bermain api, dia segera membenahi posisi duduknya dan berpura-pura tidak memperhatikan.


Orang itu ternyata malah mendekati Lidya dengan berani. Dia mengira senyuman Lidya tadi ditujukan untuknya!


Lidya mengejapkan mata tak percaya dan menahan nafas saat pria itu datang mendekatinya.


"Sedang menunggu teman?" tanyanya,

"saya juga. Boleh saya duduk di sebelah anda? Rasanya capek sekali berdiri di sini."


Lidya mengangkat bahu dengan cuek, jantungnya mulai berdetak dengan kencang, matanya bergerak mencoba mencari Pak Hasan. Kemana lagi pria tua brengsek itu? Lidya makin gelisah dan ingin segera pergi dari sini. Pria yang genit itu duduk di samping Lidya. Dia sengaja duduk sedikit merapat ke arah si cantik. Lidya bisa merasakan senggolan-senggolan kecil di daerah pinggul dan pantatnya.


"Wah, hp seri **** ya?" tanya pria genit itu lagi sambil menunjuk telpon genggam yang dipegang Lidya.


"Saya selalu ingin memiliki hp seperti itu. Sayang di tempat ini sangat susah mendapatkan hp seperti yang anda miliki, hp seri baru stoknya terbatas. Padahal saya tidak peduli dengan harganya yang mahal. Berapapun harganya, pasti saya beli. Saya selalu mengatakan pada diri saya sendiri, kalau saya menginginkan hp, harus yang memiliki fitur lengkap. Kebetulan hp itu memiliki fitur-fitur seperti yang saya butuhkan."


Lidya mengangguk dan mengangkat bahu, dia masih cuek dan tidak peduli apa yang dikatakan laki-laki di sebelahnya. Pria itu mendekat dan makin nekat, kini lengan mereka bersinggungan dan saling menempel sisinya. Lidya berusaha menyembunyikan hpnya karena toh telpon genggam itu menyala tanpa simcard. Dia tidak ingin ketahuan oleh si hidung belang ini sedang berpura-pura. Untungnya pria hidung belang itu lebih tertarik memperhatikan paha dan belahan buah dada Lidya yang putih mulus dan menggoda daripada hp yang sedang ia sembunyikan.


Sekali lagi, pria hidung belang itu masih terus mencoba mendekati Lidya.


"Hpnya bagus, cocok dengan pemiliknya yang cantik." puji si hidung belang dengan rayuannya. "Anda sangat cantik."

"Terima kasih." Jawab Lidya mencoba ramah.

"Sebelumnya belum pernah saya memuji seorang wanita yang baru saya temui seperti saat ini." Kata si hidung belang lagi.

"Tapi anda benar-benar mempesona."


"Terima kasih. Saya beruntung menjadi yang pertama yang pernah anda puji." Jawab Lidya. Dia menarik nafas lega karena sepertinya orang ini cukup sopan untuk tidak berbuat yang aneh-aneh di tengah keramaian.

"Saya tidak tahu apa yang merasuki diri saya, mudah-mudahan anda tidak tersinggung." Kata pria itu lagi.

"Ah tidak." Jawab Lidya pendek. "Saya tidak tersinggung."

...............


Bagaimana kisah mereka selanjutnya?


Continue..


NEXT... Permainan terlarang 8. Eps: "Dalam Cengkraman Pria Tua. Bag,2"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]