Eps: Dalam Cengkraman Pria Tua. Bag,2
Lidya berusaha membenahi caranya duduk agar pria di sebelahnya tidak bisa menikmati pahanya yang putih mulus dengan bebas. Matanya masih terus mencari Pak Hasan. Kalau hanya digoda oleh laki-laki sudah jadi langganan bagi Lidya, yang membedakan kali ini adalah caranya berpakaian.
Dengan busana yang ia kenakan, Lidya seakan seperti seorang pelacur yang sedang menunggu pelanggan. Memalukan sekali!
"Saya juga sangat menyukai pakaian yang anda kenakan, sangat modern dan seksi. Jujur saja saya sangat kagum dengan kecantikan anda. Apakah anda seorang model iklan atau bintang sinetron?" pria itu mulai berani melancarkan serangan.
"Bukan. Saya hanya seorang ibu rumah tangga biasa."
Kata-kata 'ibu rumah tangga' membuat lelaki itu sedikit terkejut. Jarak mereka merenggang. Lidyapun akhirnya bisa menarik nafas lega. Tapi pria itu masih juga belum mau menyerah.
"Apa anda sedang menunggu suami anda?" tanya laki-laki itu.
"Tidak." Kali ini Lidya menjawab jujur. "Suami saya sedang berada di luar kota. Saya bersama ayah mertua saya."
Di saat genting, Lidya malah keceplosan mengatakan hal-hal jujur pada laki-laki ini, tapi memang Lidya mulai kebingungan mencari kata-kata karena ditelan oleh perasaan gelisah yang makin lama makin membuncah, dan pada akhirnya, dia mengatakan hal jujur di saat dia harus berbohong. Keringat si cantik mengalir deras. Laki-laki itu merasa kembali mendapatkan angin, dia merapat lagi, kali ini bahkan agak mendesak tubuh Lidya.
"Wah, kalau begitu suami anda adalah seorang pria yang sangat beruntung karena memiliki seorang istri yang cantik dan seksi yang juga sangat sayang pada mertua." Katanya.
"Saya selalu berharap istri saya berani mengenakan pakaian yang lebih membuat saya bergairah tapi dia selalu menolaknya."
"Saya yakin istri anda punya alasan sendiri." Jawab Lidya sambil menjauh.
Lidya tidak berani menatap mata laki-laki di sebelahnya, pria itu menatapnya nanar seperti ingin menjilat seluruh tubuh Lidya. Lidya ingin pergi, dia ingin cepat-cepat meninggalkan pria ini, dia takut sekali, tapi Lidya jauh lebih takut pada Pak Hasan sehingga dia tidak beranjak meninggalkan bangku.
"Tentunya kaki istri saya yang gemuk tidak bisa dibandingkan dengan keindahan kaki anda yang langsing. Suami anda benar-benar seorang laki-laki yang beruntung." Kata pria itu lagi.
"Sayang dia tidak mempedulikan anda dan pergi ke luar kota sendirian..."
"Dia sedang dinas keluar kota ."
"...mungkin saja. Tapi hari ini, di mall ini, pasti banyak orang yang mau meninggalkan istri mereka dan mengajak anda pulang ke rumah."
"Anda sungguh berani mengatakan hal itu."
Pria itu tersenyum penuh percaya diri, tangannya perlahan mengelus lengan Lidya yang putih mulus, dia benar-benar yakin Lidya akan jatuh ke tangannya. Si cantik itu mulai jengah, kata-kata orang ini terdengar sopan dan terpelajar, sayang kelakuannya menjijikkan.
"Apakah anda termasuk pria tidak mempedulikan istri anda?" tanya Lidya menantang. Dia menepis tangan pria hidung belang tak dikenal yang mulai keterlaluan itu.
"Bagaimana pendapat anda? Apa anda mau saya ajak pulang?" tanya pria itu sambil cekikikan, wajahnya terlihat sangat nafsu dan menjijikkan. Dalam benaknya pasti sudah terbayang beribu macam cara menunggangi Lidya. Dia pasti sudah gatal ingin melesakkan batang kemaluannya dalam-dalam di liang rahim si cantik ini.
"Maaf sobat. Tapi nampaknya menantu saya tidak tertarik pada anda." Sebuah suara menyelamatkan Lidya.
Pak Hasan sudah datang.
Beberapa hari ini Lidya merasa jijik dan marah pada mertuanya, baru kali ini dia merasa sangat lega Pak Hasan datang dan menyelamatkannya dari godaan seorang lelaki hidung belang. Lidya segera bangkit dan berlindung di balik tubuh Pak Hasan. Laki-laki itu tahu diri dan mundur teratur sambil memasang muka masam. Tapi dia masih sempat melirik ke arah Lidya dan menjilat bibirnya penuh nafsu.
Dasar hidung belang!
Pak Hasan memeluk pinggang menantunya dan mereka berjalan lagi menyusuri lorong-lorong mall. Karena sudah diselamatkan dari lelaki iseng dan terlindungi, Lidya diam saja saat tangan mertuanya itu nakal meraba dan meremas-remas pantatnya saat mereka berjalan bersama. Lidya seakan sudah tidak peduli seandainya ada orang yang saat itu menatap mereka.
Satu perasaan bangga memenuhi batin Pak Hasan. Seumur hidupnya, dia belum pernah memiliki suatu hal yang bisa dibanggakan. Kini, saat berjalan bersanding dengan seorang wanita yang masih muda, cantik dan seksi yang bisa ditunggangi setiap saat, banyak lelaki menatapnya iri. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Pak Hasan bisa memamerkan sesuatu yang membuat orang lain ingin menjadi dirinya. Pak Hasan benar-benar puas.
"Bagaimana rasanya, nduk?" bisik Pak Hasan di telinga Lidya.
Sekujur tubuh wanita jelita itu merinding karena bisikan Pak Hasan disertai pula dengan ciuman dan jilatan kecil di telinganya.
"Ra-rasanya apa, Pak?" Lidya menggelinjang geli.
"Bagaimana rasanya digoda laki-laki?"
"Bu-bukan yang pertama kali. Aku tidak suka..." Lidya tidak meneruskan kalimatnya karena sekali lagi Pak Hasan mengendus telinganya yang wangi. Lidya tidak bohong, walaupun terkesan sombong tapi memang dia sudah sering sekali digoda laki-laki hidung belang. Sebenarnya Lidya benci sekali pria semacam itu, karena meskipun Lidya sudah mengenakan pakaian yang sopan, tidak seksi dan tidak menunjukkan lekuk tubuhnya yang indah, masih banyak yang mendekatinya dengan tidak sopan. Kali ini situasinya sedikit berbeda, karena Lidya jelas-jelas menggunakan pakaian seksi yang mengundang birahi, dia bagaikan seorang pelacur yang sedang menawarkan dagangan dengan mempertontonkan keindahan lekuk tubuhnya. Lidya meneruskan kalimatnya dengan lirih sambil memejamkan mata sesaat ketika lidah Pak Hasan nekat menjelajah daun telinganya di tengah keramaian mall.
"...tidak suka..."
"Kamu tidak suka digoda?"
"Ti-tidak..."
Pak Hasan menyeringai jahat.
###
"Kamu kecewa, Mas?"
Dodit yang sedang merapikan bajunya terdiam membisu. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan Anissa itu? Jujur saja dia kecewa karena tidak bisa melampiaskan nafsu birahinya yang sedang memuncak, tapi di sisi lain, dia juga sangat bangga pada kekasihnya karena masih menjunjung tinggi nilai dan budaya timur yang kini sudah mulai luntur. Sangat jarang menemui gadis seperti Anissa.
"Kamu pasti kecewa ya, Mas?" Anissa mengulangi pertanyaannya.
Dodit tersenyum dan mengelus rambut tunangannya yang panjang dan indah dengan mesra. "Kenapa harus kecewa? Aku bangga sama kamu, say. Di jaman sekarang ini, susah sekali menemukan gadis yang masih memandang penting keperawanan seperti kamu. Aku bangga dan merasa terhormat. Pernikahan kita sudah hampir tiba, jadi kenapa harus kecewa? Aku hanya perlu sabar dan menunggu sebentar lagi."
Anissa tersenyum mendengar perkataan Dodit. Dia tidak tahu apakah Dodit berbohong untuk sekedar menenangkan dirinya atau benar-benar jujur, tapi Anissa yakin Dodit pria yang baik, dia bersedia menunggu sampai datang hari pernikahan mereka untuk bisa bersatu dengannya. Anissa tahu saat ini Dodit sudah sangat horny, tapi kemampuannya mengendalikan diri memang pantas diacungi jempol. Dia dengan bangga akan menyerahkan segalanya untuk Dodit di hari pernikahan mereka. Dia akan memberikan miliknya yang paling berharga, kegadisannya yang sudah dia jaga sejak kecil.
"Terima kasih, sayang," kata Anissa sambil lembut mengecup pipi Dodit,
"kau tahu seandainya kau teruskan, aku tidak akan bisa menolakmu karena aku sangat mencintaimu, tapi aku ingin malam pertama kita benar-benar menjadi malam pertama yang sangat berharga."
Dodit tersenyum dan balas mengecup pipi Anissa, dia kembali terdiam dan membisu. Dodit memutar kunci dan menghidupkan mesin mobil.
###
"Pak, kenapa kita harus mencarinya? Dia menjijikkan! Dia menggodaku... dia... dia..." kata-kata Lidya patah-patah karena bingung mencari kata yang cocok. Dia kesulitan berjalan cepat sambil tetap mempertahankan pakaiannya agar tidak terbuka dengan vulgar, meskipun saat ini dia sudah seperti seorang pelacur hina.
"Itu sebabnya kita harus menemuinya! Bapak akan memberinya pelajaran berharga!"
Pak Hasan mencari-cari pria hidung belang yang tadi menggoda Lidya. Setelah berkeliling dari lantai ke lantai, mereka menemukannya sedang duduk di sebuah restoran siap saji, dia segera menarik tangan Lidya dan menghampirinya. Lidya yang sudah berharap tidak akan bertemu lagi dengan orang itu menjadi sangat kecewa, bagaimana mungkin di mall sebesar dan seramai ini, Pak Hasan bisa menemukan orang itu lagi?
"Selamat siang, mas." Kata Pak Hasan. Orang itu memang lebih muda dari Pak Hasan, dengan pandangan curiga dan ragu pria hidung belang yang tadi menggoda Lidya menatap ke arah Pak Hasan dan menantunya.
"Ya?" pria genit itu mengernyitkan dahi.
"Kenalkan, nama saya Hasan dan ini menantu saya, Lidya." Kata Pak Hasan sambil mengajak pria mupeng itu bersalaman.
"Saya Nyoto." Pria itu masih menjawab dengan pendek, tapi dia tidak melewatkan kesempatan untuk menjabat tangan Lidya dan mengelusnya sedikit. Pria itu terkekeh pelan menikmati halusnya tangan Lidya. Si cantik itu sendiri ingin mati rasanya.
"Saya lihat tadi Mas Nyoto tertarik dengan menantu saya, apa benar?"
"Kalau iya kenapa?" Nyoto menjilat lidahnya ke arah Lidya dengan sengaja, membuat Lidya makin jengah. Dia menarik-narik ujung baju Pak Hasan dan mengajaknya pergi, tapi rupanya mertuanya itu punya rencana lain.
"Yah, menantu saya ini rupanya juga sangat tertarik pada anda. Bahkan dia tadi mengatakan kalau seandainya diberikan kesempatan sebentar saja dia ingin merasakan kehangatan yang mungkin bisa anda berikan padanya. Berulang kali dia meminta untuk kembali dipertemukan dengan anda." Kata Pak Hasan sambil melirik Lidya puas.
Lidya benar-benar ingin mati, dua pria ini pantas dibunuh. Seandainya bisa, dia ingin mengambil sebilah pisau dan menancapkannya di dada Pak Hasan dan Nyoto. Pria yang bernama asli Sunyoto itu bagaikan baru saja menjadi pemenang undian berhadiah, dia hampir-hampir melompat dari kursinya dan hendak memeluk Lidya. Tapi Pak Hasan menghentikannya.
"Tapi tentu saja, saya tidak bisa mengijinkan Mas Nyoto memakai menantu saya ini, karena biar bagaimanapun juga, dia masih menantu saya dan istri sah dari anak saya. Saya tidak akan mengijinkan siapapun juga menidurinya." Kata Pak Hasan sambil menatap Nyoto galak.
Nyoto yang ternyata cukup pengecut kembali duduk ke kursinya. Pria genit itu menatap Pak Hasan heran.
"Kalau tidak boleh dipakai, buat apa ditawarin?"
"Berhubung anak saya sedang keluar kota, menantu saya ini sangat kesepian. Bagaimana kalau Mas Nyoto bermain-main sebentar dengan buah dadanya? Seperti yang mas Nyoto lihat, Lidya tidak mengenakan BH dan ingin dibelai-belai sebentar di kamar kecil." Kata Pak Hasan.
Perlahan Lidya meneteskan air mata. Dia sudah tidak mampu lagi berucap ataupun mengeluarkan protes. Penghinaan Pak Hasan sudah hampir membuatnya pingsan, dia sama sekali tidak mengira mertuanya itu akan menyerahkannya pada pria menjijikkan ini.
Nyoto melonjak lagi.
"Berapa perlu saya bayar untuk melakukan itu?"
"Mas Nyoto hanya perlu membelikan makan siang untuk kami berdua."
"Setuju." Nyoto langsung mengangguk. Dia meraih dompet dan mengeluarkan lembaran ratusan ribu pada Pak Hasan. "Terserah kalian mau makan di mana."
Dengan buru-buru Nyoto menggandeng lengan Lidya dan menariknya ke kamar kecil di ujung gang yang untungnya sedang sepi. Dia tidak peduli lagi dengan makan siangnya yang belum habis di restoran siap saji tadi. Dia lebih bernafsu menikmati buah dada Lidya. Pak Hasan tertawa sambil mengikuti mereka berdua dari belakang.
Nyoto tidak menunggu terlalu lama, saat berada di gang menuju kamar kecil yang sepi, dia segera menubruk Lidya. Dengan kasar dia membuka kancing baju kemeja Lidya dan tidak mempedulikan airmata yang menetes di pipi wanita cantik itu. Lidya benar-benar sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali pasrah.
"Kamu pikir kamu bisa lolos dariku, yah?" kata Nyoto sambil terkekeh pada Lidya.
"Untung sekali kamu punya mertua yang pengertian. Dasar sombong, rasakan sekarang pembalasanku!"
Dengan sekali sentak, kemeja Lidya terbuka lebar. Perempuan cantik itu menjerit lirih tak berdaya, tangisannya makin menjadi. Buah dada Lidya meloncat keluar tepat di hadapan Nyoto dan pentilnya yang menunjuk ke depan mempesona pria genit itu. Lidya kembali menjerit dan terisak saat Nyoto dengan kasar meremas buah dadanya dengan gemas dan memainkannya dengan nakal. Lidya bisa merasakan jari jemari Nyoto melingkari pentilnya dan perlahan memencetnya. Karena tubuh Lidya dan Nyoto berdempetan, Lidya bisa merasakan gumpalan kemaluan di selangkangan Nyoto makin lama makin membesar.
Cukup lama Nyoto meremas-remas buah dada Lidya dan mereguk kenikmatan darinya, sebelum ada orang yang melewati gang itu, akhirnya Pak Hasan menghentikan ulah cabul Nyoto pada menantunya. Nyoto mengangguk tanda mengerti dan menghentikan serangannya pada dada Lidya. Wanita cantik itu jatuh luruh ke lantai sambil terus menangis terisak-isak.
"Maaf, Mas. Waktunya habis." Kata Pak Hasan.
"Wah... nanggung sekali, Pak. Saya belum menjilatinya, saya belum menikmati buah dada itu seutuhnya." Nyoto ngos-ngosan menahan birahi yang sudah hampir memuncak.
"Saya ingin lebih, saya ingin menidurinya."
Nyoto meraih dompet dan bersiap mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu lagi. Pak Hasan tersenyum dan menggeleng.
"Maaf sekali, tapi perjanjian adalah perjanjian. Dia masih menantu saya, Mas. Saya masih harus menghormati dia."
Nyoto menunduk kesal, dengan setengah membentak, dia mendorong Pak Hasan. "Berapapun saya bayar, Pak! Berapapun!! Saya punya ATM, kartu kredit, semua buat Bapak! Saya hanya ingin memeknya! Saya ingin memek menantu bapak ini! Sekali saja!!"
Pak Hasan menyeringai marah dan balas mendorong Nyoto, di luar dugaan, ternyata Pak Hasan jauh lebih kuat dari pria yang sedang birahi ini.
"Saya sudah katakan berulang-ulang, perjanjiannya hanya soal buah dada Lidya, bukan memeknya! Dia bukan pelacur!!"
Nyoto menunduk lagi. Akhirnya emosinya perlahan menyurut. Dengan langkah lemas dia meninggalkan Pak Hasan dan Lidya. Di luar dugaan, Pak Hasan mendatangi Lidya dan memeluknya mesra. Lidya memeluk Pak Hasan erat dan menangis sejadi-jadinya. Pak Hasan mengelus-elus rambut Lidya dan memberinya penghiburan. Walaupun merasa aneh, Lidya sedikit merasa terlindung ulah sikap Pak Hasan yang tiba-tiba baik ini.
Nyoto ternyata masih belum menyerah. Dia mengeluarkan kartu nama dari dalam dompetnya dan menaruhnya di lantai.
"Seandainya bapak butuh uang dan berniat melakukan perjanjian lagi, silahkan hubungi saya. Saya bukan orang yang kaya raya, tapi berapapun saya bayar untuk bisa menikmati memeknya."
Pak Hasan menatap Nyoto sambil meringis sadis. Dia mengambil kartu nama itu dengan terkekeh.
"Yah, kita toh tidak tahu kapan butuh uang. Siapa tahu Lidya suatu saat nanti kangen pada Mas Nyoto."
Lidya kaget dengan ucapan mertuanya dan mendorongnya menjauh. Pak Hasan dan Nyoto tertawa berbarengan.
"Kurang ajar! Kalian anggap apa saya ini? Barang dagangan? Pelacur murahan?" Lidya menjerit marah. Kesabarannya sudah habis.
"Pak, saya ini menantumu! Istri dari anakmu! Teganya kamu melakukan ini semua?"
Plakk!! Tamparan Pak Hasan mendarat di pipi Lidya. Bekas merah merona tertinggal di pipi mulus wanita cantik itu. Lidya kembali menangis tak tertahankan.
"Jangan pernah bicara kurang ajar di depan kenalan baru!" bentak Pak Hasan.
"Maafkan menantu saya, Mas Nyoto. Seandainya dia nanti merindukan remasan-remasan anda, pasti saya hubungi anda lagi."
"Baik, saya tunggu telpon anda." Kata Nyoto sambil menyeringai puas. Sebelum pergi, pria genit itu mengerlingkan mata pada Lidya yang masih menangis.
Lidya menatap mertuanya ketakutan.
"Bersihkan wajahmu di kamar kecil. Benahi make-upmu! Kuberi waktu sepuluh menit. Kalau selesai dalam sepuluh menit, kita pulang. Kalau tidak, akan aku cari orang lain lagi untuk meremas-remas buah dadamu!"
Lidya segera lari ke kamar kecil dengan terburu-buru.
###
"Bang! Baksonya tiga ya, Bang!"
"Iya Bu!"
Akhir-akhir ini Paidi sering lewat di komplek rumah di sekitar pos kamling lokasi dia memergoki wanita cantik idamannya. Pagi siang malam Paidi berkeliling untuk mencari tahu siapa sebenarnya sosok bidadari yang kemarin lusa dia lihat. Wanita itu sangat cantik dan terlihat seperti wanita baik-baik. Paidi tidak habis pikir apa yang dilakukan wanita seperti itu malam-malam di pos kamling. Bisa dipastikan wanita cantik itu adalah warga komplek ini, itu sebabnya Paidi bersemangat mencarinya. Walaupun nanti kalau sudah bertemu, Paidi tidak tahu apa yang akan dia lakukan.
Hari ini, Paidi kembali berusaha mendapatkan jawabannya. Kebetulan sekali ada tiga orang ibu-ibu komplek yang sedang ngerumpi dan membeli bakso dagangannya. Dengan hati-hati Paidi mendekati mereka dan berpura-pura memotong-motong sayuran, Paidi menguping pembicaraan ibu-ibu yang sedang asyik ngobrol, siapa tahu ada informasi yang bisa dia simpan.
"Eh, Bu Syamsul, katanya Pak Bejo punya cewek simpanan baru lho."
"Cewek simpanan? Pak Bejo yang gemuk itu? Pak Bejo Suharso? Masa sih, Bu? Siapa yang mau sama Pak Bejo? Istrinya aja nolak-nolak!"
Ibu-ibu itu tertawa.
"Bener kok, Bu. Ini gosip dari Bu Bejo sendiri. Katanya akhir-akhir ini Pak Bejo jadi lebih sering dandan dan lebih wangi. Dia jadi lebih memperhatikan diri. Kalau dulu boro-boro dia mau pakai minyak wangi, sikat gigi aja jarang!"
"Ah, Bu Tatang ini..."
"Kalau berita itu bener, saya jadi heran sendiri. Siapa sih wanita bodoh yang mau sama Pak Bejo? Meskipun di depan orang kelakuannya baik, tapi sebenarnya itu kedok karena di belakang dia punya perangai dan watak yang jelek! Busuknya kan sudah terkenal sampai kemana-mana! Kasihan istrinya."
"Iya tuh, saya juga sering ngeri kalau melihat Pak Hendra dan Bu Hendra mempercayakan rumah dan anak pada Pak Bejo. Mungkin mereka satu-satunya warga yang tidak tahu seperti apa Pak Bejo sebenarnya."
"Yah, kalau soal itu sih, awalnya juga tidak ada yang tahu, Bu Syamsul. Soalnya Bu Bejo kan orangnya baik banget! Suka menolong dan ramah. Bu Hendra juga baik, tidak pernah mencurigai orang dan sifatnya lemah lembut, jadi saya yakin keluarga Pak Hendra pasti mempercayai keluarga Pak Bejo."
"Eh, jangan-jangan cewek simpenan Pak Bejo itu Bu Hendra yah?"
Ibu-ibu itu kembali tertawa.
"Ah, Bu Tatang ini ngaco terus! Mana mau Bu Hendra sama Pak Bejo! Suaminya saja cakep banget, belum lagi Pak Bejo itu gemuk, botak dan jelek! Buat apa Bu Hendra yang cantik dan seksi itu selingkuh sama Pak Bejo? Kalau beneran mau selingkuh kan dia bisa cari laki-laki lain yang lebih cakep? Ah ada-ada saja."
"Bener, Bu Syamsul. Bu Hendra itu bener-bener tipe ibu rumah tangga idaman di komplek kita. Masih muda, cantik, seksi, setia, baik, ramah, sopan, udah gitu lemah lembut pula. Gak ada kurang-kurangnya. Suami saya aja sering diam-diam melirik nakal kalau sedang berpapasan di jalan dengan Bu Hendra."
"Wah, suami saya juga, Bu Sani. Kalau sudah ketemu Bu Hendra, itu mata kayaknya nggak mau lepas-lepas! Dilalapnya sampai habis penampilan Bu Hendra dari atas ke bawah! Kakinya yang jenjang, kulitnya yang putih mulus, bodinya yang aduhai, buah dadanya yang indah, wajahnya yang cantik, semua ditelan mentah-mentah. Dasar laki-laki, kalau sudah lihat yang bening lupa sama istri sendiri!"
Ibu-ibu itu tertawa lagi.
Paidi mengangguk-angguk sambil memainkan mangkok baksonya. Pria itu sepertinya mulai menemui titik terang.
Paidi mencatat informasi yang didapatkannya dari percakapan ibu-ibu itu dalam benaknya. Sepertinya ada seorang wanita yang sangat cantik dan seksi yang tinggal di komplek ini dan menjadi idola tidak saja bagi kaum pria tapi juga kaum wanita. Perempuan itu adalah istri dari seorang warga komplek yang bernama Hendra, apakah mungkin dia wanita yang dia lihat malam itu?
Paidi jelas berniat mencari tahu.
###
Lidya masuk ke kamarnya dengan langkah lunglai. Badannya lemas dan capek, wajahnya kuyu, seluruh kekuatannya telah diserap habis oleh kegiatannya sehari bersama Pak Hasan. Dia sudah tidak bisa lagi menangis sedih karena sangat lelah. Dia hanya ingin bisa tidur dengan tenang malam ini.
Lidya menatap dirinya sendiri dalam cermin, dia seolah melihat seorang pelacur yang sudah kelelahan melayani pelanggan. Tidak nampak lagi sosok wanita cantik yang ceria seperti dahulu, tidak ada lagi senyum tersungging di bibirnya yang mungil. Semua hilang karena ulah mertua yang cabul.
Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka dan Pak Hasan masuk sambil cengengesan.
Untuk beberapa saat lamanya Lidya berdiri kebingungan tanpa tahu apa yang sebaiknya ia lakukan. Mulutnya sudah terbuka, tapi tak kunjung keluar kata-kata yang bisa ia ucapkan. Seluruh pikirannya sudah kabur. Akhirnya Lidya hanya berkata lirih.
"Apa yang Bapak inginkan? Aku capek sekali."
"Apa yang aku inginkan? Kamu ini benar-benar bodoh atau cuma pura-pura saja, nduk? Tidak usah pakai basa-basi, langsung dibuka saja bajumu." Perintah Pak Hasan.
"Sejak tadi pagi aku menahan diri tidak memakai memekmu, sekarang saat yang tepat"
Wajah Lidya berubah menjadi muram. Dalam hatinya dia sudah berharap Pak Hasan tidak akan menyetubuhinya lagi malam ini. Harapannya jelas tidak terwujud. Lidya berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Mertuanya yang cabul itu sudah pernah menidurinya beberapa kali dan pakaian yang dikenakannya sendiri saat ini sangat terbuka, apalah bedanya kalau saat ini dia bugil atau tidak?
Senyum yang tersungging di bibir Pak Hasan makin melebar saat melihat Lidya melepaskan seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya. Seluruh pakaian yang dibelinya siang tadi di Mall akhirnya terlepas dari tubuh sang menantu. Kemeja tipis menerawang tanpa BH, rok mini hitam yang seksi dan celana dalam g-string super kecil jatuh satu persatu ke lantai.
"Indah sekali." Pak Hasan tertawa puas menyaksikan menantunya sendiri berdiri telanjang bulat dan kedinginan dihadapannya. Pria tua itu juga meringis melihat Lidya berusaha keras menutupi rasa malu luar biasa yang ditimbulkan karena berdiri tanpa sehelai benangpun di depan mertuanya sendiri.
"Berbaliklah, nduk. Aku ingin melihat pantatmu."
Lidya menggigit bibir bawahnya dengan geram dan menurut pada perintah Pak Hasan. Wanita cantik itu berbalik dengan sangat perlahan sehingga mertuanya bisa melihat dengan jelas gelombang gerakan erotis yang ditimbulkan oleh pantat Lidya. Pantat sang menantu sangat mempesona Pak Hasan. Pantat yang bulat, putih mulus dan tanpa cacat, kemolekan yang sempurna.
"Menakjubkan." Kata Pak Hasan. Matanya nanar menatap keindahan bokong sang menantu. "Berbaringlah di ranjang dan buka kakimu lebar-lebar. Aku pengen ngentot sekarang."
Lidya menahan nafas karena terkejut dan mulai panik. Dia berusaha menghindar dari Pak Hasan. Setelah seharian mendapatkan rangsangan demi rangsangan, Lidya takut dia mulai rindu pada kontol sang mertua yang beberapa hari ini telah membuatnya orgasme berkali-kali. Hal ini berusaha dihindarinya sedini mungkin. Dia tidak mau tenggelam dalam nafsu pada sang mertua. Dengan rasa takut yang amat sangat, Lidya berusaha menghindar. Dia masih memiliki kesadaran untuk menolak. Walaupun sudah pernah diperkosa, Lidya tetap menolak untuk pasrah. Tapi apalah daya seorang wanita lemah sepertinya? Apalagi kini Lidya sudah bugil di hadapan sang mertua.
"Baiklah, sepertinya kau mendapat kesulitan berkomunikasi dengan Bapak, ya nduk?" kata Pak Hasan sambil tersenyum lebar.
"Bagaimana kalau kita adakan perjanjian saja?"
"Pak, aku mohon. Cukuplah apa yang Bapak lakukan ini. Perbuatan kita sangat nista, Pak. Ijinkan aku..."
"Shhh, jangan ribut to, nduk. Kita buat perjanjian saja ya? Soalnya aku masih penasaran sama tubuhmu yang seksi itu," kata Pak Hasan. Wajahnya terlihat sangat sadis dan membuat Lidya bergidik ketakutan, tamparannya siang tadi di mall masih terasa panas di pipinya,
"Kali ini kau akan memperbolehkanku menyetubuhimu tanpa perlawanan. Tidak hanya itu saja, kali ini kau juga harus membuatku orgasme dan kalau kau tidak bisa membuatku orgasme secepat mungkin, ah, resiko ada di tanganmu..."
Lidya menatap Pak Hasan heran.
"Kenapa resiko ada di tanganku?"
"Oh ya, Lidya sayang. Ada sesuatu yang lupa aku sampaikan padamu."
Lidya menatap mata ayah mertuanya dengan pandangan bertanya-tanya. Tubuhnya yang telanjang menggigil terkena angin. Lidya berusaha menutup ketelanjangannya dengan memeluk dirinya sendiri. Tangan kanan menyilang menutupi pentil dan tangan kiri menutup gundukan lembut di selangkangan.
"Aku bohong soal Andi." Kata Pak Hasan.
Jantung Lidya berdetak kencang, perlahan rasa takut menyebar di seluruh tubuhnya. Pak Hasan tersenyum menghina, dia bergerak mendekati Lidya dan memeluk tubuh menantunya itu erat-erat. Tangan-tangannya yang nakal mengelus dan meraba lekuk-lekuk tubuh Lidya. Wanita cantik itu masih tak bergeming, kedua tangannya juga masih berusaha menutup auratnya. Pak Hasan terkekeh, dia dengan berani menyentakkan tangan kanan Lidya dan meremas-remas payudaranya perlahan.
"Andi pulang hari ini. Dia baru saja telpon dari bandara." Kata pria tua itu.
Mata Lidya terbelalak.
"Dia akan segera sampai di rumah."
Dengan panik Lidya mencoba melepaskan diri dari pelukan ayah mertuanya. Menantu Pak Hasan yang cantik itu menjerit-jerit dan menangis tak tertahankan, dia berusaha menarik tubuhnya dari kuncian sang mertua namun tidak berhasil. Tubuhnya yang indah dan basah oleh keringat tak bisa lepas dari pelukan Pak Hasan.
"Lepaskan aku! Lepaskan! Andi sudah mau pulang! Kita tidak boleh terlihat seperti ini! Kumohon, Pak! Kasihani aku! Kasihani akuuu!!"
Pak Hasan meringis sadis dan tak memberi ampun sedikitpun. Gerakan tangannya meremas buah dada Lidya malah makin kencang.
"Aduh, sial sekali! Aku lupa mengunci pintu depan!" goda Pak Hasan.
Lidya menjerit-jerit ketakutan. Pelukan Pak Hasan makin erat.
"Bagimana menurutmu, nduk? Aku janji akan segera melepaskanmu begitu aku mencapai klimaks. Sebaiknya kita segera bersetubuh dengan cepat karena Andi hampir sampai. Aku tidak berani menjamin apa yang akan dilakukan anakku itu padamu seandainya dia pulang mendapati istrinya yang cantik jelita telanjang bulat digauli oleh bapaknya sendiri. Jujur saja, aku tidak peduli seandainya Andi pulang dan menemui kita dalam posisi seperti ini, tapi aku yakin pendapatmu pasti sebaliknya. Pasti kau ingin ini semua cepat selesai, iya kan?"
"Ba-bapak benar-benar sudah gila... aku... aku tidak bisa melakukannya! Mas Andi... mas Andi sudah mau pulang! Ti-tidak akan sempat! Kita tidak akan sempat ber..." Lidya menjerit putus asa, tubuhnya yang telanjang kian bersinar indah karena derasnya kucuran keringat bercampur dengan air mata. Wajahnya yang menunjukkan rasa takut dan gelisah malah membuat Pak Hasan kian terangsang dan bergairah. Pria tua itu melepaskan pelukannya dan berdiri di dekat ranjang.
"Tidak sempat bercinta, maksudmu? Kalau begitu, tidak ada waktu lagi untuk berpikir, nduk," kata Pak Hasan sambil menyeringai,
"Andi bisa setiap saat pulang ke rumah. Berapa jam sih waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sini dari bandara?"
"Tidak bisa. Tidak sempat. Tidak ... aku tidak mau!" Lidya terus menggeleng. Pikirannya kalut. Dia meremas-remas jemarinya dengan perasaan gelisah.
"Waktu terus berjalan, nduk," Pak Hasan terkekeh menghina,
"Sebenarnya kau tidak punya banyak pilihan, kalau tidak mau melayaniku, ya berarti kau lebih memilih kuperkosa saja. Karena kalau itu yang kau mau, aku tidak yakin Andi bisa menerima kenyataan yang harus dihadapi. Bayangkan, istri dan ayahnya..."
"Hentikan!! Jangan bapak teruskan kata-kata itu!!" Lidya makin panik.
Desah nafas Lidya yang memburu kian keras terdengar, bahkan sampai ke telinga Pak Hasan. Dadanya naik turun dengan cepat dan nafasnya yang cepat terdengar berat. Lidya berusaha mencari jalan keluar dari situasi ini tapi sepertinya tidak ada pilihan yang bisa menyelamatkannya.
Lidya menundukkan kepala dengan pasrah. Tidak ada jalan lain.
Lidya berbisik lirih memohon maaf kepada suaminya. Sambil terburu-buru Lidya segera menghampiri Pak Hasan, menarik celana pendeknya dan meraih tongkat kemaluan kebanggaan sang mertua. Mata Lidya terbelalak melihat ukuran penis Pak Hasan yang terlihat jauh lebih besar dari sebelumnya.
"Nah, gitu kan enak, bagaimana kontolku, nduk? Pas di tanganmu yah?" Pak Hasan tertawa melihat menantunya akhirnya mau melayaninya tanpa paksaan. Selama ini Pak Hasan hanya berhasil memperkosa Lidya, belum bisa membuat menantunya yang cantik itu bercinta dengannya dengan kesadaran sendiri. Kali ini akhirnya apa yang diimpikannya menjadi kenyataan.
Lidya tidak menjawab sindiran Pak Hasan. Matanya berulang kali menatap ke arah jendela dengan takut. Lidya segera mulai mengocok kontol Pak Hasan. Jemari lembut Lidya bergerak cepat mengocok penis Pak Hasan naik turun dengan harapan pria tua yang bejat itu segera mencapai klimaks.
"Ayo cepat, cepat..." desis Lidya, matanya terus beralih dari jendela ke kemaluan Pak Hasan. Lidya makin tidak sabar dan bertanya-tanya butuh waktu berapa lama lagi Pak Hasan akan menembakkan spermanya.
"Menyenangkan, sayang," kata Pak Hasan,
"Tapi percayalah, kalau cuma begini terus aku tidak akan cepat mencapai klimaks."
Lidya mulai merasa pening. Dia benar-benar sangat stress. Pandangan matanya terus beralih dan berputar, cukup lama dia menatap penis Pak Hasan yang besarnya luar biasa itu. Mertuanya itu benar, kalau hanya begini saja pasti akan memakan waktu yang sangat lama.
"Dasar!" teriak Lidya kalut, dengan serta merta dia melepaskan pegangan pada kontol Pak Hasan dan menarik celana pendek sang mertua sampai ke bawah. Kontol besar milik mertuanya itu bergelantungan di depan wajah Lidya.
Lidya menarik nafas panjang karena lagi-lagi harus melakukan hal yang tidak begitu disukainya. Seandainya ini Andi, Lidya akan melakukannya dengan sukarela dan penuh rasa cinta, tapi kontol di depan wajahnya ini justru milik ayah dari Andi, mertuanya sendiri.
Lidya menarik batang penis Pak Hasan yang menegang dan berukuran besar. Si cantik itu sempat melirik ke arah mertuanya yang tersenyum meringis dengan wajah menghina. Lalu sambil mencoba menahan nafas agar tidak tersedak, kepala Lidya maju ke depan dan mulutnya membuka. Perlahan lidahnya yang mungil mulai menjilat ujung gundul kepala penis Pak Hasan. Gerakan Lidya makin lama makin cepat, dia berusaha menelusuri setiap jengkal penis Pak Hasan dengan lidahnya itu. Pak Hasan mendesah penuh kenikmatan.
Lidya menggelengkan kepalanya dengan jengkel karena penis Pak Hasan tidak segera mencapai klimaks walaupun dia sudah berusaha keras. Panik mulai merasuk ke dalam diri Lidya.
"Memang enak dijilati seperti itu, sayang," kata Pak Hasan,
"tapi aku tidak akan mengeluarkan sperma dan mencapai kepuasan maksimal hanya dengan cara seperti itu. Bersiap-siaplah. Sebentar lagi Andi akan segera pulang..."
"Ahhhhhhhh!" Lidya menjerit keras-keras karena panik dan bingung.
Setelah berpikir keras dan tak kunjung mendapat solusi, akhirnya Lidya menyerah. Tubuh indah wanita cantik itu pasrah dalam mendekap sang mertua yang bejat. Pak Hasan makin bergairah saat merasakan gesekan buah dada Lidya pada tubuhnya, baru kali inilah Lidya mau memeluknya. Menantunya yang cantik itu kini sedang meletakkan penis Pak Hasan tepat di pintu masuk surgawinya. Dengan jemarinya yang lentik, Lidya memasang penis sang mertua tepat di bawah lubang memeknya.
"Nah, gitu dong! Dari tadi kek!", Pak Hasan terkekeh-kekeh dan menyandarkan tubuhnya ke belakang dengan santai.
Lidya sempat ragu-ragu ketika dia mulai merasakan ujung kepala kontol mertuanya mengelus bibir vaginanya dengan lembut, tapi perasaan ragu itu hilang karena Lidya kemudian teringat apa yang akan terjadi seandainya dia tidak segera melayani Pak Hasan. Setelah menarik nafas panjang dan memejamkan mata menahan sakit, Lidya menurunkan badannya dan merasakan batang kemaluan sang mertua perlahan memasuki lubang vaginanya.
Kedua orang yang tengah bersenggama itu melenguh bersamaan. Mereka mendesahkan gairah dengan alasan yang berbeda. Lidya mendesahkan rasa gelisahnya karena telah melayani seorang pria yang bukan suaminya. Wanita itu merasa bersalah dan tidak berdaya karena diharuskan melayani ayah mertuanya sampai dia bisa orgasme dan ini semua berlangsung karena paksaan mertuanya yang bejat itu. Lenguhan panjang Pak Hasan adalah lenguhan kepuasan. Kebalikan dari apa yang dirasakan oleh Lidya, Pak Hasan merasa sangat puas bisa menyetubuhi menantunya yang memiliki tubuh luar biasa seksi itu. Semua paksaan dan intimidasi yang dilakukannya pada Lidya akhirnya berbuah juga, Lidya akhirnya mau melayaninya. sebenarnya Lidya tidak ingin ini semua terjadi karena Pak Hasan yang menyuruhnya melakukannya. Pria tua bejat itu amat menyukai kekuatan, dia bangga bisa membuat seseorang melakukan hal-hal yang di luar kebiasaannya, melakukan suatu hal yang biasanya tidak pernah atau tidak mungkin akan mereka lakukan dalam kondisi normal.
Lidya meremas pundak Pak Hasan karena rasa nikmat yang dia alami sudah di ambang batas. Wanita jelita itu bisa merasakan rasa hangat yang melanda seluruh tubuhnya. Cengkraman Lidya di pundak sang mertua membuat tubuh indah Lidya bergerak naik turun dengan kecepatan tinggi mengendarai penis Pak Hasan. Tidak pernah terbayangkan dalam benak Lidya dia akan bersetubuh dengan Pak Hasan, apalagi harus memberikan pelayanan ekstra.
Pak Hasan makin menikmati permainan kali ini. Sudah dua kali dia bersetubuh dengan menantunya yang bohay itu, tapi baru kali ini Lidya sendiri yang mau melayaninya tanpa harus diperkosa. Pak Hasan menyandarkan tubuh ke belakang dan memejamkan mata menikmati detik demi detik saat memek Lidya naik turun dengan cepat mengendarai batang penisnya yang berdiri tegak menjulang ke atas. Batang kemaluan Pak Hasan mulai basah oleh cairan cinta Lidya. Buah dada Lidya yang indah mental ke atas dan ke bawah seiring gerakan tubuhnya. Keringat yang mengucur deras membasahi tiap inci bagian tubuh Lidya termasuk di puting susunya yang menegang ke depan.
Lidya berusaha mengenyahkan semua pikiran erotis dan nafsu birahi yang melanda seluruh badannya. Namun sebuah perasaan aneh membuatnya terangsang secara perlahan. Perasaan itu adalah wujud ketidakmampuannya untuk mengendalikan situasi, Lidya yang biasanya ceria dan enerjik itu kini berada dalam kendali seorang pria yang seharusnya menjadi figur ayah, bukannya malah melesakkan penisnya dalam-dalam ke tubuhnya. Tiap kali penis Pak Hasan melesak masuk dan menghantam dinding vaginanya dengan penuh kekuatan, Lidya mengeluarkan desahan demi desahan menyuarakan kenikmatan, tapi Lidya tidak akan mau mengakuinya.
Lidya berusaha keras membuat pria tua ini segera mencapai klimaks. Dia menggunakan seluruh kekuatan dan kecepatannya. Lidya bahkan mencoba melakukan gerakan-gerakan erotis yang selama mungkin bahkan belum pernah dia praktekkan pada suaminya sendiri. Wanita cantik itu sesekali memutar pinggulnya, membuat gerakan melingkar tiap kali bibir memeknya sudah menyentuh ujung batang penis Pak Hasan.
"Bagus sekali, nduk!" pria tua itu tertawa puas.
"Begitu baru enak! Kenapa nggak dari tadi? Ayo teruskan! Teruskan!"
Lidya tidak akan sudi menjawab kata-kata sang mertua. Dia melanjutkan gerakan naik turun mengendarai batang kemaluan Pak Hasan dengan kecepatan yang makin meningkat. Makin lama makin cepat. Lidya menghantamkan pantatnya ke arah paha Pak Hasan yang gemuk, mengocok penis keriput sang mertua dengan memeknya dan berusaha keras membuat pria tua bejat itu mencapai titik akhir permainan cinta mereka.
Makin lama Lidya makin berani mengangkat pantatnya lebih tinggi dan menghantamkannya ke bawah dengan kekuatan penuh dan kecepatan tinggi. Lubang vagina Lidya yang sudah basah oleh cairan cinta menelan seluruh batang kemaluan gemuk milik Pak Hasan. Lidya meneriakkan jeritan kekecewaan dan rasa panik, tapi bagi Pak Hasan, teriakan itu terdengar seperti kenikmatan yang makin memuncak.
Lidya melakukannya berulang-ulang kali, ia mengendarai batang kemaluan mertuanya dengan kecepatan tinggi seperti kesetanan. Lidya menghantamkan memeknya ke bawah sampai ke batas pangkal kemaluan Pak Hasan dengan keras. Naik turun naik turun. Berulang-ulang.
Pak Hasan serasa berada di nirwana. Pria tua itu menjerit dan melenguh dengan puas, dia sangat menikmati setiap detik saat memek menantunya yang cantik meremas penisnya yang besar dan menyukai tiap kali bibir memek Lidya mengatup dan menjepit batangnya saat tubuh indah Lidya naik turun dengan cepat. Sungguh sangat nikmat.
"Hampir!!" teriak Pak Hasan.
"Cepaaat! Cepaaaaat!!" jerit Lidya panik. Lidya memperkirakan sang mertua akan segera mengeluarkan air maninya. Seluruh desah dan tangisannya adalah karena paksaan Pak Hasan, tapi entah kenapa Lidya tidak yakin lagi. Dia tidak yakin apakah dia sudah berhasil membuat mertuanya itu mencapai klimaks, atau malah dirinya sendiri yang keenakan dan mendapatkan kepuasan batin.
Lidya masih bergetar dan tidak mampu mengembalikan kesadarannya dengan sempurna. Penis Pak Hasan masih terus berdenyut dan bergerak maju mundur tanpa terhenti di liang cintanya. Campuran antara kenikmatan dan rasa bersalah membuat Lidya tidak mampu melakukan apa-apa, seluruh tubuhnya lemas.
Cairan bening mengalir melalui sela-sela memek Lidya yang kini tersumpal oleh batang penis mertuanya sendiri. Lidya tidak peduli apakah dia sudah mencapai orgasmenya atau belum. Dia tidak peduli seandainya cairan cintanya meleleh, kalaupun benar dia sudah klimaks, istri Andi itu tidak ingin mengetahuinya. Lidya hanya punya satu keinginan saat ini dan itu adalah membuat Pak Hasan orgasme. Tubuh indah wanita muda itu terus bergerak naik turun, membiarkan penis sang mertua merajai liang cinta yang seharusnya hanya diserahkan pada sang suami.
Bibir memek Lidya menjepit kontol Pak Hasan lebih erat lagi dan sang mertua melenguh keenakan, mertua bejat itu kembali melesakkan satu sentakan keras ke dalam vagina Lidya. Gerakan tubuh Lidya yang turun ke bawah disambut oleh gerakan pinggul sang mertua yang mendorong batang kemaluannya ke atas. Sekali lagi Pak Hasan melenguh puas sebelum akhirnya menembakkan spermanya ke dalam vagina sang menantu.
"Akhirnyaa... keluaaar..." desah Lidya lemas. Seluruh tubuh wanita jelita itu basah oleh keringat dan dia juga terengah-engah kelelahan. Lidya hampir-hampir tidak bisa bernafas.
Terdengar bunyi bel berdentang.
Pak Hasan tersenyum mesra menatap menantunya yang ketakutan mendengar bel itu. Mertua bejat itu mencium bibir Lidya dan menampar pipi pantatnya dengan lembut.
"Itu, anakku sudah pulang." Kata pria tua itu.
"Sana kau sambut suamimu, Nduk."
Lidya segera bergegas melepaskan diri dari pelukan Pak Hasan. Dia buru-buru mengenakan pakaiannya dan berlari ke bawah menuju pintu depan.
###
Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
Continue..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar