Eps: Kejutan Pria Tua
Pak Bejo geleng-geleng kepala dengan takjub, pria tua cabul itu sedang asyik memotong rumput dan memperhatikan kegiatan Anis, Opi dan Dodit yang sedang bermain-main di halaman rumah Hendra dan Alya.
Gadis muda itu mengenakan celana jeans pendek dan kaos tipis yang bisa dibilang gagal menyembunyikan balon payudara pemiliknya yang sempurna, BHnya yang berwarna merah jambu bisa terlihat dari kejauhan karena diterawang sinar matahari.
Pak Bejo tersenyum sendiri saat menyaksikan buah dada Anissa melonjak-lonjak ketika sedang berlarian bersama Opi. Payudara sempurna itu mental ke atas dan ke bawah dengan mempesona, membuat pria tua itu meneteskan air liur mesum. Belum lagi menatap pantatnya yang hanya dibungkus celana jeans ketat yang ukurannya sangat mungil. Kakinya yang jenjang begitu mulus dan seputih pualam, ingin rasanya Pak Bejo mengelus paha indah milik Anissa.
Tubuh yang indah, seperti apa ya kira-kira tubuh itu kalau telanjang? Pasti lebih menggiurkan lagi. Pasti segar rasanya menyetubuhi tubuh gadis muda seperti Anissa. Pak Bejo terkekeh, sebentar lagi gadis itu akan menikah, dia bertanya-tanya apakah Anis masih perawan atau tidak, mungkin perlu ditest dulu sebelum menikah. Pak Bejo terkekeh mesum.
Mungkin sedang beruntung, tiba-tiba saja Anissa membungkukkan badan menghadap ke arah Pak Bejo ketika sedang bermain bersama Opi. Bagian atas kaosnya yang longgar memberikan kesempatan pada Pak Bejo untuk menikmati belahan dada gadis muda itu.
"Wah, wah, pagi-pagi sudah disuguhi susu non Anis. Enak enak enak. Putih mulus, besar bulat, wah, pasti lezat sekali dijilati." Pak Bejo mengecap lidah menatap keindahan belahan dada Anis yang bisa dilihat jelas olehnya.
"Lihat ginian saja aku ngaceng, apalagi kalau pegang."
Tiba-tiba saja Anissa berbalik dan kali ini Pak Bejo disuguhi keindahan bulat pantatnya yang juga sempurna. Bokong gadis itu begitu indah menopang kedua kaki jenjangnya, menyeruak ke atas seakan minta dielus seseorang.
"Kalau sampai tidak bisa menjejalkan kontolku ke dalam anus Anissa, namaku bukan Bejo Suharso!" batin Pak Bejo sambil pelan mengelus kemaluannya yang kian membesar.
"Akan kubelah memek dan anusnya sampai gadis itu tidak bisa lagi berdiri tegak!"
"Ayo, semuanya! Sarapan dulu!" panggil Bu Bejo dari dalam rumah, menghancurkan lamunan suaminya yang cabul.
###
Air hangat yang menyegarkan seluruh badan Alya yang terasa pegal membuatnya rileks. Gelembung sabun yang meletup-letup seakan mengingatkan Alya pada permainan cintanya yang panas dengan tetangganya yang cabul, Pak Bejo. Ketika menyabuni kakinya yang panjang dan jenjang, Alya berusaha keras untuk tidak bermain-main dengan kemaluannya, dia membuang jauh-jauh semua birahi yang setiap saat dikobarkan oleh Pak Bejo. Wanita cantik itu bersungut dan memaki pria tua itu dalam hati, Pak Bejo telah membangkitkan gairah seksual liar di dalam dirinya dan karenanya Alya membenci pria tua itu setengah mati. Alya hanyalah seorang wanita lemah yang dimanfaatkan dan tidak bisa melepaskan diri dari cengkramannya. Alya beruntung karena kehadiran Anissa dan Dodit membuat Pak Bejo sedikit menarik diri karena tidak bisa diam-diam mendekatinya.
"Mandinya enak, manis?" tiba-tiba saja sesosok tubuh yang sangat ia kenal hadir di hadapan Alya tanpa diundang.
"Pak Bejo?!" Alya yang kaget spontan menutup dadanya dan menenggelamkan diri di dalam bak mandi. Hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan karena pria tua itu toh sudah pernah melihatnya telanjang berulang kali.
"Pak Bejo!" teriak Alya lagi ketika Pak Bejo membuka celananya. Batang kemaluannya yang besar dan keras dikeluarkan dari dalam celana dan pria menjijikkan itu kemudian kencing sembarangan. Alya panik namun tidak bisa berbuat apa-apa, bagaimana mungkin laki-laki ini bisa masuk ke kamar mandi pribadinya? Alya yakin sekali dia sudah mengunci pintu kamar, jangan-jangan Pak Bejo sudah menduplikat kunci semua pintu di rumah ini? Ketegangan Alya memuncak karena Hendra belum berangkat kerja dan masih sarapan di belakang bersama Anissa, Dodit dan Opi. Alya tidak tahu di mana Bu Bejo berada, mungkin sedang bersih-bersih. Walaupun marah, pandangan Alya langsung terpatri pada kemaluan Pak Bejo yang memang besar itu.
"Kamu kangen sama kontolku, manis?" Pak Bejo tersenyum meringis.
"Pak Bejo sudah gila? Mas Hendra ada di belakang! Anissa! Dodit! Opi! Bu Bejo! Kalau sampai ketahuan Pak Bejo masuk kemari..."
"Santai saja, Mbak Alya. Suamimu memang masih di belakang dan aku memang tidak berencana lama-lama di sini. Aku hanya mampir untuk memastikan tubuhmu masih seindah beberapa malam yang lalu. Aku kangen sekali sama kamu." Pak Bejo dengan santai mendekati Alya dan duduk di tepian bak mandi tanpa menaikkan lagi celananya. Dia membiarkan saja kemaluannya tergantung di hadapan Alya.
"Aku ingin mandi tanpa diganggu, Pak. Silahkan meninggalkan kamar mandiku sebelum aku berteriak."
"Ha ha ha. Beraninya kamu mengancamku, manis. Untung saja hari ini aku sedang tidak mood menamparmu, jadi kamu selamat, tidak perlu kerepotan lagi menyembunyikan lebam di wajahmu dengan bedak. Jangan khawatir, aku tidak akan lama."
Pak Bejo memiringkan tubuhnya ke dalam bak mandi, tangannya yang kasar menarik leher Alya supaya lebih maju ke depan. Dengan hati-hati Pak Bejo menarik tubuh Alya dan mendekatkan kepala mereka. Bibir Pak Bejo segera mencumbu bibir Alya, lidah pria tua itu tidak kesulitan menyeruak masuk ke dalam rongga mulut Alya. Sambil melenguh lirih, Alya menerima ciuman Pak Bejo dan memejamkan mata. Alya beruntung ciuman itu tidak berlangsung lama, Pak Bejo melepaskan Alya kembali ke dalam bak mandi.
"Pak Bejo sudah gila! Nekat! Bagaimana kalau sampai ada yang tahu Pak Bejo masuk ke kamar mandiku?!"
"Aku sudah bosan main di belakang terus. Aku ingin bisa menidurimu siang malam tanpa khawatir, soalnya tubuhmu yang seksi itu benar-benar membuatku blingsatan tidak bisa tidur."
"Dasar cabul!"
"Setelah apa yang Mas Hendra dan Mbak Alya lakukan dengan membantu aku dan Bu Bejo sekeluarga, tentunya aku bertekad untuk mengembalikan semua bantuan itu tanpa pamrih pada kalian."
"Apa maksud Pak Bejo?"
"Tak lama lagi aku pasti bisa menidurimu tiap kali aku mau tanpa harus menunggu suamimu pergi bekerja atau tertidur lelap." Bisik Pak Bejo mesra di telinga Alya.
"Kenikmatan yang kau rasakan akan menjadi seratus persen murni berasal dariku dan memekmu yang lezat itu akan melupakan penis Hendra yang kecil dan tak bisa lepas dari kontolku ini."
"KELUAR! KELUAR SEKARANG JUGA!" bentak Alya. Dia berusaha keras menahan suara agar tidak ada mendengar keributan di kamar mandi ini. Selain kemarahannya memuncak, ibu muda yang panik itu juga tidak ingin skandalnya dengan pria mesum ini terkuak karena ulahnya yang berengsek dan nekat.
Pak Bejo tertawa-tawa, sambil membenahi celananya dia keluar dengan lagak sombong, dia merasa sudah berhasil menaklukan Alya yang jelita dan diidolakan banyak orang, dia pantas untuk sombong.
Setelah Pak Bejo meninggalkan kamar mandi dan menutup pintu, Alya berulang kali membenamkan kepalanya ke dalam air.
"Pria tua mesum itu makin tak terkendali. Nekat sekali dia masuk kemari dan menciumku..." batin Alya.
###
Dengan gelisah Dina menunggu panggilan.
Sudah hampir setengah jam ia menunggu panggilan Pak Pramono. Entah apa maksud pria tua itu memanggilnya ke kantor. Dina punya cukup alasan untuk gelisah, dia baru saja bertemu dengan beberapa orang teman Anton dan menurut mereka suaminya itu sudah menghilang sejak pagi tadi. Mereka memperkirakan, itulah alasannya Pak Pram memanggil Dina ke kantor, dengan karir yang makin tersendat sungguh tidak bijaksana bagi Anton kalau tiba-tiba saja dia memutuskan untuk pergi tanpa pamit.
Mungkin saja Anton tiba-tiba kalut setelah mengetahui skandal finansial yang dilakukan olehnya telah menimbulkan kerugian besar bagi perusahaan. Tanpa mengetahui perjanjian rahasia yang dilakukan oleh Dina dan Pak Pram, Anton lantas melarikan diri entah kemana. Dina takut Pak Pramono mengingkari perjanjian yang sudah mereka sepakati, Dina bersedia diapakan saja oleh Pak Pram asal mengampuni kesalahan suaminya. Seharian ini Dina tidak bisa menghubungi telpon genggam sang suami, kekhawatirannya makin memuncak ketika Pak Pramono kemudian juga menghubunginya lewat sms. Tapi pesan sms dari Pak Pramono di hp Dina sudah jelas mengatakan kalau dia memanggilnya karena 'alasan' lain. Untuk kesekian kalinya, dia harus melayani nafsu pria biadab itu.
Sekretaris Pak Pram sudah meninggalkan ruangan sejak istirahat makan siang, seorang satpam yang tadinya berada di lantai atas juga sudah turun ke lantai bawah, Dina hanya sendirian saja menunggu panggilan Pak Pramono di ruang tunggu kantornya. Ruangan Pak Pram yang eksklusif dan luas dan terletak di lantai atas gedung perkantoran ternyata cukup sepi, di lantai ini hanya ada seorang satpam, seorang sekretaris dan tentunya Pak Pram seorang. Saat ini, satpam dan sekretarisnya sedang istirahat dan Dina harus menunggu sendiri. Dina curiga, jangan-jangan satpam dan sekretaris Pak Pram itu memang sengaja meninggalkannya seorang diri di sini.
"Ibu Dina, silahkan masuk." Terdengar suara entah dari mana dan pintu masuk ke ruang pribadi Pak Pram terbuka.
Dengan langkah berani dan berusaha mempertahankan harga diri, Dina masuk ke dalam. Pak Pram rupanya sedang berbincang-bincang dengan seorang laki-laki yang sudah terlihat sangat tua dan keriput. Walaupun begitu, terlihat binar mata ceria berkilat di mata lelaki tua itu.
"Ibu Dina, kenalkan ini Pak Bambang Haryanto.", kata Pak Pramono sambil mengenalkan sosok kakek tua di sebelahnya. Entah kenapa Pak Pramono tidak memanggil Dina dengan sebutan 'mbak' seperti biasa.
"Pak Bambang, wanita cantik ini adalah Ibu Dina Febrianti, istri dari salah satu pegawai saya, Pak Anton Hartono."
"Oh, Anton yang itu." suara Pak Bambang terdengar berat dan serak, sangat tidak enak didengar. Dari nada kalimat yang diucapkannya, Dina menduga Pak Bambang mengetahui kejadian penggelapan uang perusahaan yang dilakukan oleh Anton suaminya. Pasti mereka ingin menanyakan keberadaan suaminya yang sejak pagi tadi menghilang. Dina mulai ketakutan.
Dina segera menyalami Pak Bambang. Sepertinya Pak Pramono sangat menaruh hormat kepada kakek tua ini. Rambut di kepala Pak Bambang sudah beruban, putih semua. Wajahnya sudah keriput dan alisnya yang tebal panjang juga sudah memutih, sekilas penampilannya mengingatkan pada presiden kita yang kedua. Tubuh Pak Bambang lebih pendek dari Pak Pram, bahkan lebih pendek dari Dina. Hanya saja tubuh Pak Bambang jauh lebih gemuk sehingga terlihat sangat besar dan mengintimidasi.
Kalau Pak Pramono walaupun sudah berusia di atas kepala lima tapi masih terlihat gagah, sebaliknya dengan Pak Bambang. Kakek gemuk ini mungkin sudah 70 tahun, wajahnya juga terlihat sangat tua dan keriput, walaupun pada kenyataannya sangat sehat dan segar.
Berhubung tubuh Pak Bambang pendek, tentunya saat menyalaminya Dina harus sedikit membungkuk supaya terlihat sopan. Saat menegakkan badan, Dina melihat mata Pak Bambang nanar melihat belahan dadanya yang indah dan tentunya terlihat jelas di hadapan kakek tua itu. Wajah Dina memerah karena malu dan segera membenahi cara berdirinya. Mata Pak Bambang tidak bergeming dan terus menatap kedua buah dada Dina. Ibu rumah tangga yang cantik itu ingin menyilangkan tangan di depan dada karena merasa sangat malu, tapi pandangan mata galak dari Pak Pramono membuatnya mengurungkan niat. Dia tidak mau membuat Pak Pramono marah.
Ketiga orang itu segera duduk di tempat masing-masing. Pak Pram duduk di belakang meja kerjanya, sementara Dina dan Pak Bambang duduk bersebelahan.
"Pak Bambang adalah pendiri dan direktur dari PT Sasana, salah satu owner baru perusahaan ini.", kata Pak Pram.
"Setelah suksesnya pengambilalihan perusahaan melalui pembelian saham yang dilakukan oleh PT Sasana serta merger dengan anak perusahaan lain yang akan dilakukan sesegera mungkin, kami dari pihak perusahaan hendak memberikan kenang-kenangan untuk Pak Bambang selaku pemegang saham terbesar."
Entah kepada siapa Pak Pram menerangkan panjang lebar. Dina hanya terdiam dan duduk dengan sopan. Pak Bambang terus saja mencuri-curi pandang ke arah payudara montok wanita cantik di sebelahnya.
"Nah, Ibu Dina. Karena Pak Anton belum juga memberikan laporan yang sangat penting dan amat kami butuhkan sehubungan dengan pengambilalihan perusahaan oleh PT Sasana dan keberadaan Pak Anton juga entah di mana saat ini, maka saya harapkan Ibu Dina sebagai istri dari Pak Anton bersedia memberikan down payment sekaligus kenang-kenangan pada Pak Bambang."
Perasaan Dina mulai tidak enak. Pak Pram menatapnya tajam. Pandangan mata itu seakan-akan hendak mengatakan - jangan berani-berani melawan -.
"Kita mulai saja pertemuan ini dengan membuka baju Ibu Dina. Saya pribadi sangat menyukai pilihan baju yang Ibu Dina kenakan, tapi kalau saya tidak salah, nampaknya Pak Bambang jauh lebih tertarik pada isi yang ada di balik blus Ibu Dina. Silahkan blusnya dibuka dulu."
Dina hampir pingsan. Dia tidak percaya apa yang dikatakan oleh Pak Pram. Dia hendak menyerahkan tubuh Dina pada kakek tua pendek menjijikkan ini? Benar-benar gila! Dina sudah siap berdiri dan meninggalkan ruangan itu, namun dia segera teringat perjanjiannya dengan Pak Pram dan tubuhnya pun langsung lemas. Selama Anton masih belum didepak dari pekerjaan dan posisinya aman, maka Dina masih harus melayani Pak Pram sampai dia bosan. Tidak ada gunanya melawan, semua sudah terjadi dan harus dihadapi. Dina menundukkan kepala sambil menahan air matanya agar tidak tumpah. Walaupun terdesak Dina tidak ingin terlihat lemah di hadapan dua laki-laki tua yang mesum ini.
Dengan tangan bergetar, Dina berusaha membuka kancing bajunya. Sekilas Dina melirik pada Pak Bambang yang menatapnya penuh nafsu. Karena dalam sms sebelumnya Dina dilarang mengenakan pakaian dalam oleh Pak Pram, maka Dina sempat mampir ke kamar kecil di lantai bawah untuk melepas pakaian dalamnya, dia sengaja mengenakan pakaian yang sopan dan tertutup rapat sehingga tidak menarik perhatian orang. Setelah dibuka seluruh kancing bajunya, Pak Bambang bisa segera menikmati keindahan buah dada sempurna milik Dina. Ibu rumah tangga yang cantik itu sengaja tidak segera melepas blusnya dan beralih membuka roknya.
Pandangan mata Dina yang mulai berlinang air mata memohon ampun pada Pak Pram, karena selain dilarang mengenakan BH, Dina juga dilarang mengenakan celana dalam, seandainya roknya dilepas, Dina akan langsung bugil di hadapan kedua orang ini, dia malu sekali. Tapi pria tua itu tidak mengindahkan tatapan Dina. Dia bahkan bangkit, menghampiri Dina dan membantu menarik resleting rok pendek istri Anton itu. Dina beruntung karena rok yang ia kenakan sangat ketat sehingga walaupun resletingnya sudah ditarik sampai ujung, tapi rok itu tidak lepas. Pak Pram menahan diri untuk tidak menarik dan melepas rok Dina, sebaliknya ibu rumah tangga itu panik dan berusaha menahan rok serta blusnya agar tidak terlepas dan membuatnya telanjang bulat di depan Pak Bambang.
"Nah. Nah. Begitu baru seksi. Anda setuju dengan saya, Pak Bambang?"
Dina melirik ke arah kakek gemuk yang terkekeh-kekeh di sebelahnya. Selain wajahnya yang menatap tubuh Dina lumat-lumat, dia juga memperhatikan adanya tonjolan yang makin lama makin besar di selangkangan Pak Bambang. Pandangan mata Pak Bambang beralih dari dada ke kaki jenjang Dina, lalu ke paha dan tentunya selangkangan si seksi itu. Pak Bambang nampaknya tidak terlalu memperhatikan pertanyaan dari Pak Pram.
"Ibu Dina sayang, tolong antarkan Pak Bambang beristirahat di sofa yang ada di samping sana." Kata Pak Pram sambil menunjuk sebuah sofa panjang yang berada di dalam ruangan pribadi Pak Pram.
"Temani beliau duduk di dalam."
Pak Bambang terkekeh-kekeh lagi saat tangannya dibimbing oleh Dina bak seorang jompo yang sudah tidak mampu berdiri dengan tegak. Dina sendiri berusaha keras berada di belakang langkah Pak Bambang sehingga kakek gemuk itu tidak bisa menyaksikan langsung perjuangan kerasnya mempertahankan blus dan roknya agar tidak melorot. Walaupun begitu, berkali-kali lengan Pak Bambang dengan sengaja disenggolkan ke payudara Dina.
Setelah duduk di sofa dan disusul oleh Pak Pram, Dina duduk di samping Pak Bambang. Saat duduk, salah satu bagian blus yang dikenakan Dina melorot dan susu sebelah kanannya pun bisa dilihat jelas oleh kedua laki-laki yang ada dalam ruangan. Dina hendak membenahi bajunya tapi Pak Pram menggelengkan kepala sehingga diurungkannya niatnya itu.
Dina tersentak saat tangan Pak Bambang meraih buah dadanya yang terbuka. Dina bisa melihat kilau emas cincin kawin di jemari Pak Bambang. Dina baru teringat kalau dia juga masih mengenakan cincin kawinnya. Nama Anton terngiang berulang-ulang kali dalam benak Dina, begitu pula nama kedua anaknya. Ini semua untuk keluarga. Dia melakukan ini semua untuk keutuhan keluarga. Dina berusaha menenangkan dirinya sendiri. Belum pernah seumur hidupnya Dina membayangkan hal seperti ini akan menimpa dirinya.
Tangan Pak Bambang meremas-remas buah dada Dina dengan lembut dan beralih ke payudara yang sebelah lagi. Karena merasa terganggu, kakek bejat itu segera melepaskan blus yang dikenakan Dina. Setelah melepaskan blus Dina, Pak Bambang segera meremas-remas kedua payudara si cantik itu.
"Ibu Dina, tolong keluarkan kemaluan Pak Bambang agar tidak sesak di dalam." Kata Pak Pram. "Sekalian digosok agar tidak kedingingan. Ruangan ini ACnya dingin sekali."
Dina memejamkan mata dan berusaha tidak memikirkan apa yang saat ini sedang dialaminya. Dengan tangan bergetar, Dina meraih sabuk celana Pak Bambang dan membuka kaitannya. Setelah sabuk itu tidak terkait lagi, Dina menarik resleting celana Pak Bambang ke bawah. Dina memasukkan tangan ke dalam dan mencari batang zakar Pak Bambang. Setelah beberapa kali mencari dengan grogi, Dina menemukan penis Pak Bambang yang berada di balik celana dalamnya. Dina membuka celana dengan tangan kiri dan menarik keluar penis Pak Bambang dengan tangan kanannya.
Dina mengocok penis Pak Bambang dengan jemarinya yang lembut.
###
Hendra meninggalkan Anissa dan Dodit yang masih duduk di meja makan sambil menonton TV. Setelah menelpon taksi, Hendra siap berangkat kerja. Sudah beberapa hari ini Hendra tidak mengendarai mobilnya sendiri.
"Bagaimana mobilnya, Mas Hendra? Sudah dibawa ke bengkel yang saya sarankan?" tanya Pak Bejo yang tiba-tiba saja muncul dan mengagetkan Hendra.
Hendra tersenyum,
"Wah, sudah Pak. Bengkelnya bagus dan murah. Nanti sore mobil saya sudah jadi, saya ambil sepulang kerja. Terima kasih banyak buat rekomendasinya, Pak Bejo. Kalau tahu dari dulu ada bengkel yang murah seperti itu pasti saya sudah langganan sejak lama."
"Ah sama-sama, Mas. Saya kan juga sudah sering dibantu Mas Hendra."
Hendra tersenyum dan masuk ke dalam kamar untuk menemui istrinya.
Pak Bejo menengok ke dalam sejenak kemudian meraih ke dalam saku celana dan mengambil telpon genggamnya. Dia mulai mengetikkan sms dan mengirimnya ke sebuah nomor.
- Bgmn psnku td? Kalian sdh sabot mobil si Hndr? Truk si Somad sdh siap? -
Tak lama kemudian, balasan sms itu datang, Pak Bejo terkekeh membaca pesan singkat yang masuk ke hpnya.
- Semua sdh diatur. Brs bos. -
###
Alya sedang memandangi dirinya sendiri di dalam cermin ketika suaminya masuk ke dalam kamar, ia terkejut dan bersiap karena mengira yang masuk adalah Pak Bejo. Wanita cantik itu langsung menghembuskan nafas lega begitu tahu yang masuk adalah suaminya.
"Kamu selalu cantik, sayang. Tidak perlu berkaca terlalu lama." Kata Hendra sambil mendekap tubuh istrinya dengan mesra.
Alya tersenyum manis dan membiarkan kehangatan penuh cinta yang diberikan suaminya memberikan kedamaian setelah tadi sempat tegang dikejutkan Pak Bejo. Tangan Hendra yang nakal membelai tubuh istrinya yang masih mengenakan kimono. Dengan hati-hati sekali Hendra membuka bagian atas kimono itu dan membelai payudara Alya. Puting susu Alya menonjol ke depan dan dimainkan Hendra dengan lembut.
Alya mendesah penuh kenikmatan. "Aku menyukai sentuhanmu."
Hendra memeluk istrinya erat-erat. "Aku sangat mencintaimu."
"Aku lebih mencintaimu daripada kau mencintai aku, mas."
Hendra mengecup bibir istrinya dengan lembut, tidak ada kekasaran yang dirasakan oleh Alya, hanya usapan bibir penuh cinta yang sangat didambanya. Sayangnya Hendra tidak tahu kalau bibir yang sama juga baru saja dinikmati oleh tetangganya yang cabul.
"Sudah mau berangkat kerja, Mas?"
"Aku sudah telpon taksi tadi."
"Opi?"
"Diantar Bu Bejo. Kamu berangkat siang?"
"Iya. Katanya Anis sama Dodit mau jalan-jalan ke mall, aku mau numpang."
"Ya udah kalau begitu, tadinya aku kira kamu mau dianter Pak Bejo pakai motor."
Nama itu bagaikan kilat yang menyambar batin Alya. Tiap kali Hendra menyebut nama pemerkosanya, seluruh tubuh Alya terasa lemas tak berdaya. Batinnya menjerit-jerit namun tidak ada kata-kata yang terucap. Maafkan aku, Mas. Maafkan istrimu yang telah membiarkan diri dinodai oleh tetangga yang kurang ajar itu. Maafkan istrimu yang tidak mampu menjaga diri. Banyak yang ingin terucap, tapi bibir Alya tetap terkatup rapat.
"Nanti pulangnya jangan malam-malam ya, Mas."
"Memangnya kenapa? Mungkin agak sore, aku ambil mobil dulu di bengkel."
Alya menggelayut manja di pelukan sang suami.
"Sudah beberapa hari ini kita tidak bercinta, aku kangen sekali sama kamu."
Hendra tertawa dan mencium bibir Alya sekali lagi.
"Gampang, nanti bisa diatur."
Terdengar bunyi klakson taksi.
"Taksinya udah datang, aku berangkat dulu ya, sayang."
"Iya, mas. Hati-hati."
Hendra meninggalkan istrinya dan membuka pintu kamar lalu melangkah keluar. Belum sampai satu menit, Hendra kembali lagi ke kamar dengan keringat bercucuran.
"Mas? Kamu kenapa?" Alya terkejut melihat suaminya dan mengambil sapu tangan, dengan hati-hati diusapnya keringat Hendra. "Kamu sakit?"
"Nggak tau nih, nggak sakit kok, hanya saja perasaanku tiba-tiba tidak enak."
Alya mulai khawatir.
"Kamu yakin tidak apa-apa? Aku telpon ke kantor saja ya, minta ijin?"
Hendra tersenyum dan mencium dahi Alya.
"Aku tidak apa-apa kok, sayang. Bener. Apapun yang terjadi, aku selalu mencintai kamu."
"Aku juga, mas."
"Aku berangkat ya."
"Iya, mas."
Perasaan Alya tidak enak.
###
Bagaimana nasib mereka selanjutnya?
Continue..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar